Rabu, 11 April 2012

Kenanga Waktu ke Yogya

 

Sudah ada tiga bulan ini aku diterima di perusahaan baru, sebuah perusahaan kontraktor mesin. Nampaknya aku mulai kerasan dengan bidang pekerjaan yang baru ini meski banyak tugas yang membuatku hampir tak punya waktu untuk bersantai dan bermain dengan teman-teman.

Bulan-bulan ini kesibukanku bertambah dengan dimulainya proyek yang melibatkan beberapa rekanan di berbagai kota, termasuk Yogyakarta, dimana keluarga Om Wijoyo, saudara tiri ayahku tinggal di sana.

"Kenapa harus nunggu bulan depan?" suara Om Wijoyo di telepon terdengar setengah 'memaksa'.
"Bulan depan 'kan cuma seminggu lagi, Om," jawabku.
"O iya ya.."
"Sabar dong Om," kataku sambil ketawa, meski aku sendiri sebenarnya sudah tak tenang ingin segera ketemu.
"Oke, kalau gitu Om tunggu ya..," sahutnya dengan nada kebapakan.

Aku baru saja memberitahu Om Wijoyo tentang rencana kunjunganku ke Yogya. Om Wi' (panggilanku kepada Om Wijoyo-baca 'Tamu dari Yogya') tentu saja sangat senang mendengar berita itu. Jadwalku ke Yogya memang baru terealisir minggu pertama bulan depan, karena minggu-minggu ini aku harus menyusun laporan setelah perjalanan dinasku sebelumnya ke daerah Batam dan Samarinda minggu kemarin.

Aku memilih perjalanan ke Yogya dengan menggunakan kereta api. Sengaja kupilih jadwal kereta keberangkatan Jum'at pagi, dengan harapan aku bisa punya waktu senggang di Yogya pada hari Sabtu dan Minggu. Sepanjang perjalanan, pemandangan sawah, bukit dan gunung berselisihan dengan bayangan Om Wijoyo yang terus muncul. Aku berusaha untuk mengingat kembali segala kejadian yang pernah kami lakukan ketika ia ke Jakarta beberapa bulan yang lalu. Penumpang di sebelahku, laki-laki setengah baya, tak mampu mengalihkan pikiranku dari bayangan Om-ku.

Akhirnya kereta masuk Stasiun Tugu sekitar pukul 15.00, satu jam lebih lambat dari yang dijadwalkan. Di depan pintu gerbang utama kulihat Dede, putra sulung Om Wijoyo, melambaikan tangan ke arahku. Kami lalu bersalaman dan berangkulan dengan akrabnya.

"Bapak mana, De?" tanyaku tanpa bisa menyembunyikan keinginanku ketemu ayahnya.
"Tuh!" kata Dede sambil menunjuk seorang laki-laki yang berdiri di depan mobil Kijang. Sejenak aku terkesima melihat laki-laki gagah berkacamata rayban tersenyum ke arah kami sambil melambai-lambaikan tangannya.

Dede menyuruhku menghampiri ayahnya, sambil meminta travel bag-ku untuk dibawanya. Kutinggal Dede dan aku lalu berjalan ke arah Om Wi' sambil terus kuamati sosoknya yang menurutku makin ganteng saja. Aku yakin ia juga terus menatapku di balik kacamata rayban-nya itu.

"Apa kabar Om?" tanganku terulur.

Ia lalu melepas kacamatanya dan langsung menyambut uluran tanganku untuk kemudian ditariknya aku dalam pelukannya. Mungkin di mata orang lain tampak seperti pelukan seorang Om kepada keponakannya. Tapi kami saling tahu dan bisa merasakan bahwa pelukan itu sebenarnya lebih dari itu. Apalagi Om Wi' sempat berbisik bahwa ia kangen denganku. Aku hanya bisa menarik nafas mendengarnya.

"Kamu tampak makin dewasa saja," gumamnya sambil tangannya mencengkeram bahuku dan mengamati penampilanku.
".. Dan tambah ganteng..," lanjutnya dengan nada suara agak direndahkan.

Berat badanku akhir-akhir ini memang sedang naik, membuat tubuhku nampak berisi. Dan mungkin ada satu hal yang kurang disadari Om Wijoyo, penampilanku memang berbeda dengan ketika kami bertemu di Jakarta dulu. Mungkin aku sekarang tak seklimis dulu karena kerap membiarkan kumis dan cambangku tak tercukur akibat jadwal kerjaku yang cukup padat. Memang banyak yang bilang kalau penampilanku jadi lebih menarik dan lebih 'mature'.

Ketika Dede mendekat, kami bertiga segera masuk ke mobil dan meluncur meninggalkan stasiun. Om Wijoyo menawariku makan siang tapi aku menolak karena sudah makan di kereta tadi. Akhirnya kami langsung menuju rumahnya yang lokasinya mengarah ke Kaliurang. Dede yang memegang setir didampingi ayahnya. Aku sendirian di belakang dengan travel bag-ku.

Sesekali Om Wi' menengok ke belakang mengajakku ngobrol. Tapi tatapan mata dan senyumannya sepertinya bicara lain. Penuh dengan kerinduan. Penuh dengan isyarat dan pancaran tertentu. Sesuatu yang bisa kutangkap tapi tak bisa kujelaskan dengan kata-kata.

Terus terang sejak Om Wijoyo mengenalkanku pada sebuah 'peristiwa' ketika ia bertamu ke Jakarta dulu, aku tak pernah berniat mengulang hal itu atau melakukannya dengan orang lain. Bukan semata-mata karena aku belum pernah melakukannya dengan orang lain, tapi kuakui sejak kejadian itu mulai muncul 'kedekatan' tertentu dengan saudara tiri Ayahku itu lebih dari sekedar kedekatan seorang keponakan dengan Om-nya.

Sejauh ini komunikasi cuma kami lakukan melalui percakapan di telepon. Om Wi' lah yang lebih sering menghubungiku, entah ke rumah atau kantorku. Aku sih senang-senang saja diperhatikan seperti itu. Dan perhatian itu tak berubah ketika aku bertemu langsung dengannya saat ini.

Hampir semua urusan kedatanganku di Yogya ditangani oleh Dede. Ia memang seperti ayahnya, baik dan ramah dengan semua orang, apalagi dengan saudara. Malam pertamaku di Yogya lebih banyak ditemani olehnya. Putar-putar kota, makan dan nongkrong di Malioboro. Si Putri, adik perempuannya, kebetulan sedang ada acara sosial di luar kota. Jadi aku keliling kota berdua saja sama Dede.

Om Wijoyo sendiri seolah 'melepas'ku untuk ditemani anak sulungnya itu, meskipun aku sebenarnya lebih suka Om Wi' yang menemani. Tapi mungkin ia ingin agar kedekatanku dengannya tak terlalu menyolok di depan anak-anaknya. Atau mungkin ia punya pertimbangan lain, aku tak tahu.

Aku baru tahu hal itu keesokan harinya, hari Sabtu pagi ketika separo dari kegiatan usaha libur. Aku bangun agak kesiangan. Semalam aku dan Dede memang nongkrong sampai malam di sepanjang Malioboro. Sekitar setengah dua kami baru pulang. Aku langsung tidur di kamar tengah yang memang disediakan khusus untuk tamu. Dan pagi ini, karena merasa bangun kesiangan, aku langsung bangkit ke kamar mandi karena mau diajak main ke Kaliurang.

Baru saja aku keluar dari kamar mandi, ketika pintu kamarku ada yang mengetuk. Rupanya Pak No, pembantu keluarga Om Wijoyo yang berdiri di depan pintu kamar sambil membawa handuk bersih. Ia agak kaget melihat aku baru saja selesai mandi.

"Maaf Mas Hendro, ngasih handuknya terlambat. Tadi mau saya bangunkan tapi nggak enak," katanya sambil menyerahkan handuk bersih kepadaku.
"Nggak pa-pa. Saya sudah bawa kok Pak," kataku sambil menunjuk handuk yang membelit tubuhku. Pak No lalu mengingatkanku bahwa sarapan sudah disediakan, sebelum ia berlalu ke belakang.

Baru saja pintu kamar kututup, tiba-tiba ada ketukan lagi. Dan ketika kubuka, Om Wi' sudah berdiri di ambang pintu. Senyumnya mengembang segar. Tampaknya ia belum mandi. Karena masih ber-training-spak dan berkaos oblong. Entah habis olah raga atau itu memang pakaian tidurnya. Terus terang aku kaget dengan kehadirannya yang sekonyong-konyong itu.

"Kesiangan ya Hend?" sapanya ramah.

Aku mengiyakan dan berharap ia segera masuk ke kamarku. Bukan apa-apa, aku tidak enak berduaan dengan dia dalam kondisi hanya berbalut handuk. Aku takut kalau tiba-tiba Dede melihat pemandangan 'aneh' ini. Tapi Om Wi' tampaknya tak peduli dan cuek dengan kegelisahanku.

"Sudah mandi?" katanya sambil terus tersenyum di ambang pintu.
"Coba kalau belum, bisa mandi bareng."

Kalimatnya makin membuatku was-was, takut kedengaran orang lain.

"Masuk Om," kataku akhirnya, setengah memaksa.
"Mau dikasih apa?" sahutnya bercanda. Gila juga ini bapak-bapak. Omongannya makin nyerempet saja.
"Masuk dong Om. 'Ntar ketahuan Dede atau Pak No!," kataku sambil menggamit lengannya.

Ia menurut saja dan pintu kamar langsung kututup.

"Dede pergi dan Pak No sedang kusuruh nyuci mobil," katanya sambil mulai mendekatiku. Aku setengah berteriak dalam hati. Lega!
"Emang Dede kemana?" tanyaku penasaran.
"Tadi subuh pamitan mau ke Semarang. Acara sama teman kantornya," kata Om Wi' makin mendekat ke arahku.
"Kok semalam nggak bilang sama saya?"
"Aku yang nyuruh jangan bilang ke kamu. Biar kamu tetap merasa enak di sini, meski nggak ada Dede"

Om Wi' sudah di depanku dan langsung melepas handuk yang membelit pinggangku. Tangannya langsung menggenggam dan meremas. Aku hanya bisa memejamkan mata dan merasakan sentuhan yang sudah lama tak kurasakan. Elusan tangannya memandu memoriku merasakan kembali sensasi yang pernah diberikannya beberapa waktu lalu.

Dan ingatan itu makin kuat ketika kurasakan bibirnya mulai merambat menciumku. Sentuhan kumis lebatnya masih terasa seperti dulu. Lumatannya juga masih sama seperti dulu. Pilinan lidahnya, hisapannya, semuanya. Geli dan merangsangku untuk membalas pagutan bibirnya. Nafas kami kini beradu tak karuan. Mendesah dan butuh pelepasan.

"Om kangen sama kamu Hend..," bisiknya di sela-sela cumbuannya. Aku juga, kataku dalam hati.

Beberapa saat kemudian Om Wi' melepas ciumannya dan mulai membuka pakaiannya dan aku membantu melepas kaos oblongnya. Dan kami pun kini berhadapan dalam kondisi sama-sama telanjang tanpa penutup apa pun. Langsung berdekapan, bercumbu lagi, saling mendesak, saling menggesek..

Kini gantian aku yang menggenggam miliknya. Ada kerinduan tersendiri ketika aku mulai mengelus dan meremas-remas benda yang panjang dan besar itu. Entah sudah berapa lama aku tak menyentuh batang itu sejak kejadian di rumahku dulu. Kini kerinduan itu kulampiaskan dengan berbagai remasan dan betotan yang gemas dan kuat. Kulihat mata Om-ku sampai memicing-micing keenakan menikmati kenakalan tangan keponakannya.

"Isap, Hend..," ia memintaku. Dan akupun dengan senang hati memenuhi keinginannya. Langsung berlutut di tengah kedua kakinya yang terkangkang.

Rasa-rasanya kaki Om-ku makin kekar saja dan bulu-bulu yang tumbuh pun tampak makin lebat. Tampaknya ia masih rajin berolahraga. Atau mungkin ini hanya kesanku saja yang sudah lama tak melihat ia dalam keadaan telanjang. Tapi yang jelas rasa dan aroma bagian tubuhnya yang terlarang itu telah membangkitkan nafsuku.

Rasanya otot kemaluan itu masih padat dan pejal. Aromanya, campuran antara bau keringat dan bau sperma. Bagian kepalanya masih tampak membonggol besar bagai kepala burung Condor yang sesekali mengangguk-angguk setiap tersentuh lidah basahku. Kutuntaskan kerinduanku pada bagian tubuhnya yang paling pribadi itu. Dan pagi ini rasanya aku tak perlu lagi menikmati sarapan yang disediakan Pak No, cukup dengan 'pisang ambon' ini saja.

Beberapa saat kemudian tangan Om Wi' menarik tubuhku untuk berdiri, lalu mendorongku hingga terpojok ke dinding kamar. Gerakan tubuh kami sempat membuat meja di sampingku bergeser dan menimbulkan bunyi berderak cukup keras. Tapi Om Wi' tak peduli dan terus merangsekku ke dinding.

Akhirnya kami melakukannya sambil berdiri. Saling melumat, saling membelit. Saling menekan dan saling menggesek. Ia terus mendesakku layaknya seorang lawan yang sudah lama ingin ia lampiaskan untuk berbalas dendam.

Entah bagaimana caranya, tiba-tiba kedua kakiku sudah terangkat dan pahaku mengepit pinggulnya. Sementara kedua tangannya berusaha menyangga tubuhku agar tak jatuh dan merosot dari dinding. Dalam posisi begini desakannya kurasakan semakin liar. Terasa sekali sodokan-sodokan batangnya di sela-sela garis pantatku. Rasanya geli dan membuat daerah sekitar liang pelepasanku itu seperti 'meleleh' karena membasah.

Sementara batang kemaluanku terjepit di antara perutku dan perutnya. Tergesek-gesek bulu yang ada di situ. Dalam posisi digendong seperti itu, aku hanya bisa tengadah merasakan itu semua. Sementara mulutnya sibuk mencumbui daerah di sekitar leherku.

Waktu aku kecil, Om Wijoyo memang seringkali menggendong atau membopongku dengan penuh kasih sayang. Tapi kali ini gendongannya jauh berbeda sekali dengan yang pernah ia lakukan. Mungkin ia masih melakukannya dengan penuh kasih sayang. Tapi aku merasakannya lebih dari itu. Gendongan dan dekapannya terasa sekali penuh dengan dorongan nafsu dan hasrat birahi yang mengental dan harus segera dicairkan. Dan aku sebagai keponakannya menurut saja pagi-pagi diajak 'main gendong-gendongan' seperti ini.

Cengkeraman tangannya yang kuat dan desakan tubuhnya membuat aku makin terpepet ke tembok. Tubuh kami seolah lengket dan punggungku yang berkeringat terasa ketat menempel ke dinding. Aku berusaha agar tak jatuh merosot dengan mengetatkan belitan kedua kakiku pada pinggangnya. Apalagi ia sering melakukan sentakan dan sodokan dari bawah yang membuat tubuhku sesekali terguncang-guncang ke atas.

Orgasme kami akhirnya harus datang terlalu cepat, saling menyusul dan tak terkendali. Aku mengerang dengan suara yang cukup keras meningkahi suaranya yang mendesah-desah seperti orang tengah kesakitan. Aku dan Om Wi' sepertinya tak peduli sekali pun Pak No atau orang lain akan mendengar hiruk-pikuk meledaknya puncak permainan seks ini. Pagi ini kami memang tidak sedang bermain cinta. Ini benar-benar permainan seks. Sekedar menyalurkan dorongan nafsu syahwat saja. Tapi aku tak menyesali. Karena aku pun sudah lama memendam tumpukan birahi ini padanya.

Tak sampai semenit kemudian, dengan sisa tenaga yang ada dan tubuh masih dalam posisi saling membelit, Om Wi' menggendong tubuhku ke arah ranjang dan menjatuhkan tubuh kami ke sana. Tubuh gempalnya sesaat sempat menindihku sebelum ia berguling ke samping.

"Uhh.. Cepet banget.." katanya beberapa saat kemudian sambil nyengir.

Badannya berbaring miring di sampingku. Tangannya bertelekan ke dagu dan menatapku sayu. Keningnya masih berpeluh dan kudengar nafasnya masih agak ngos-ngosan. Aku tetap diam telentang di sampingnya, tak menanggapi ucapannya.

"Kok diam?" tangannya menyentuh ujung hidungku yang basah oleh keringat.
"Ehmm..," aku malas untuk bicara, masih terbawa oleh sisa-sisa kenikmatan yang samar-samar masih terasa di bagian bawah tubuhku. Kuamati wajahnya lalu kupeluk lehernya dan kami pun berciuman. Lumat dan lama sekali.

Ada rasa plong ketika aku menuntaskan permainan yang singkat dan cepat tadi. Rasa rindu dan birahi yang selama ini kupendam terasa terobati. Bagaimana pun, laki-laki yang selama ini kupanggil 'Om' ini telah merebut hati dan perasaanku. Belum pernah aku jatuh cinta seperti ini, bahkan kepada seorang wanita pun. Di mataku kini, aku tak melihat lagi ia sebagai Om atau Pakdeku. Ia telah menjadi kekasih dan tempatku melampiaskan hasrat kelelakianku.

"Jadi ke Kaliurang-nya?" tanyanya di sela-sela cumbuannya.
"Kan Dede-nya nggak ada..," sahutku
"Memang Om nggak bisa nganter apa?"
"Emang Om Wi' mau nganter?"
"Lha, buat apa Om nyuruh Pak No nyuci mobil?"

Kami kemudian sepakat untuk mandi dan sarapan dulu. Aku terpaksa mandi 'basah' lagi, sekalian menemaninya. Toh sudah lama kami tak mandi bersama sejak kejadian di Jakarta dulu.

Sekitar jam sepuluh kami berangkat menuju Kaliurang. Om Wi' yang pegang setir. Ia tak mengijinkan ketika kutawarkan aku saja
yang bawa mobil, dengan alasan aku adalah tamunya.

"Jadi saya dianggap tamu nih?" kataku pura-pura kesal.
"Iya. Tamu istimewa," sahutnya datar.
"Pake telor nggak?"
"Pake. Telornya dua biji," katanya sambil tertawa tergelak-gelak.

Ketawanya masih khas seperti dulu. Renyah dan segar. Kupukul bahunya menanggapi guyonannya. Ia pura-pura meringis kesakitan.

Kelihatan sekali Om Wi' senang dengan kedatanganku. Sepanjang jalan, disela-sela obrolan, ia terus bersenandung. Sesekali kuamati wajahnya yang sebagian tertutup oleh topi pet dan kacamata rayban. Hari ini kami memang rada santai. Pakaian kami hanya t-hirt, celana pendek bermuda dan bersepatu sandal saja. Tak ada lagi barang lain yang kami bawa, kecuali sebuah tas pinggang yang dipakai Om Wi'.

Sepanjang perjalanan sesekali kuperhatikan sosok laki-laki di sampingku itu. Beberapa rambut putih tampak menyembul dari rambut ikal yang ada di bagian atas kupingnya. Om-ku memang sudah berumur. Tapi di mataku ia tampak makin matang saja, berwibawa dan 'wise'. Kumisnya yang tumbuh bagus makin memperkuat kesan itu. Tubuhnya memang tampak makin berisi. Bahkan perutnya agak sedikit buncit, tapi masih proporsional dengan bentuk badannya yang tegap. Menatapnya seperti ini membuatku ingin sekali merengkuhkan tangan memeluknya.

"Om..," hanya itu yang bisa keluar dari mulutku sambil mengusap lengannya yang padat kekar dan berbulu itu.
"Ya, sayang..," sahutnya dengan ekspresi datar sambil tetap serius menyetir. Aku ketawa mendengar kata 'sayang' di akhir kalimatnya.
"Kenapa?" tanyanya masih tanpa ekspresi. Suara baritonnya terdengar meneduhkan.

Aku tak menyahut dan kemudian beralih menatap jalanan di depan. Aku memang tak bermaksud mau mengatakan sesuatu. Hanya ingin memanggil namanya saja. Mungkin itu bagian dari caraku untuk menyatakan aku menyayanginya.

"Ada apa?" tanyanya lagi dengan nada tak berubah.
"Nggak..," sahutku ringan sambil menoleh ke arahnya.

Ia tersenyum dan tampaknya tahu kalau aku memang hanya ingin memanggil namanya saja. Ia kemudian malah bersenandung dan bersiul-siul, membuatku makin 'gemas' saja melihatnya.

Tiba-tiba ia melepas tangan kirinya dari kemudi, memegang tangan kananku lalu menggenggam dan meremasnya. Ada rasa rindu mengalir dalam genggamannya. Kami sama-sama menarik nafas hampir bersamaan. Tak ada kata-kata yang keluar. Kami hanya bisa merasakan semua perasaan ini. Ingin rasanya aku bisa memeluk dan menciumnya. Tapi mustahil aku melakukannya di jalanan umum begini.

Akhirnya aku hanya bisa mengusap-usap pahanya dan sesekali menepuk-nepuk mengikuti senandungnya. Sesekali kupegangi lututnya, kuusap-usap dan kugelitiki. Ia kegelian dan tangannya berusaha menepis. Tanganku memang sesekali meremas-remas bagian dalam pangkal lututnya yang menggembung dan sesekali jari-jariku menelusup masuk ke celah bawahnya. Ia makin memprotes kegelian, tapi tak kuhiraukan.

"Iseng amat sih?"
"Nggak boleh?"
"Boleh! Tapi masa cuma lututnya doang?" sahutnya dengan nada nakal.

OK! Kuturuti tantangannya. Pelan-pelan kutelusupkan tanganku ke celah celana pendeknya yang agak longgar dan mulai mengusap-usap bulu yang ada di sekujur pahanya. Ia diam saja tak bereaksi. Hanya segurat senyum mulai mengembang. Namun ketika tanganku makin masuk ke dalam, kudengar ia mulai menarik nafas.

Tiba-tiba ia kembali melepas tangan kirinya dari kemudi dan dengan tanpa ekspresi ia berusaha melepas tas pinggangnya dan kaitan celananya. Lalu dengan pandangan tetap ke jalanan, tangannya kembali memegang setir, dan tak melanjutkan membuka celananya lebih jauh. Aku tersenyum geli mengamati perbuatannya. Tapi tanpa diminta, aku mengerti maksudnya dan meneruskan apa yang diperbuatnya tadi dengan menarik resleting celananya ke bawah.

Segera kulihat sembulan celana dalam putihnya. Garis batang kemaluannya jelas terlihat membayang. Kuusap bagian itu dan kurasakan sudah cukup mengeras. Ia menarik nafas merasakan sentuhan tanganku. Sesekali kuperkuat usapanku di bagian itu dan ia pun makin kuat menarik nafasnya.

Tangan kirinya lalu melepas setir lagi dan berusaha mengeluarkan 'isi' celananya. Tapi aku mencegahnya, karena jalanan yang kami lalui bukan jalan yang sepi, meskipun tidak terlalu padat juga. Om Wi' menurut dan membiarkanku hanya bermain-main di bagian luar saja.

Kira-kira satu kilometer berikutnya, tiba-tiba Om Wi' membelokkan mobil ke arah kiri, masuk ke sebuah jalan yang lebih kecil yang nampaknya merupakan jalur alternatif. Jalan ini memang tampak lebih sepi dan tidak ada pemukiman penduduk. Di kiri kanan hanya ada kebun sayur dan pepohonan semacam cemara atau pinus. Semula aku pikir kami sudah sampai di Kaliurang, tapi begitu melihat Om Wi' kembali berusaha melepas celananya, aku baru faham maksudnya untuk berbelok ke jalanan ini. Om-ku yang satu ini memang kadang-kadang 'kreatif' juga. Apalagi kalau menyangkut urusan begituan.

Kuminta ia untuk sedikit mengangkat pantatnya agar aku dengan mudah bisa membantu menarik celananya ke bawah. Kuperosotkan celana pendek bermuda itu sekaligus celana dalamnya hingga ke lutut.

Kini di sampingku tampak dua buah benda bulat panjang menantang. Yang satu adalah persneling mobil dan yang satunya lagi adalah sebuah 'meriam' kecil lengkap dengan bagian kepalanya yang sudah membengkak, tegang tapi masih agak menggantung karena belum sepenuhnya keras.

Kuamati Om-ku tetap dengan serius mengemudikan mobilnya, meskipun sekilas kutangkap wajahnya agak tegang dan nafasnya memburu. Seolah ada sesuatu yang membuatnya tak sabar menunggu.

Pelan-pelan kugenggam bagian batang miliknya yang besar dan pejal itu. Ia menarik nafas panjang. Tanganku lalu mulai memijit-mijit dan sesekali kuselingi dengan mengurut benda itu dengan gerakan maju mundur. Tarikan nafasnya makin tak teratur.

Sejenak kulepaskan genggamanku dan gerakanku berpindah sasaran ke arah bulu-bulu ikal yang tumbuh lebat merimbun di pangkal kemaluannya. Aku tahu, ia paling senang kalau aku mengelus-elus bulu jembutnya. Kulihat Om Wi' mulai gelisah. Dan pelan-pelan 'meriam'nya mulai mengembang, menegang. Tanganku pun gatal untuk segera merayap lagi ke sasaran semula dan kulanjutkan dengan gerakan mengocok. Kulihat kepala kemaluannya makin membengkak, meradang.

Mata Om Wijoyo masih lurus menatap jalanan di depan. Sesekali ia terpejam meresapi apa yang tengah kuperbuat. Duduknya kembali mulai gelisah. Tapi yang membuatku salut adalah: ia tetap bisa mengendalikan mobil dengan baik. Padahal kondisi jalan di situ tidak lagi mulus, beberapa bagian aspalnya sudah berlubang. Gerakan tanganku pun sesekali tersentak mengikuti guncangan mobil.

Ketika mobil mulai memasuki areal sepi yang dipadati oleh pohon pinus, aku merasa aman untuk melakukan sesuatu yang lebih jauh. Maka tanpa diminta aku pun menenggelamkan wajahku ke selangkangannya. Kulahap milik Om-ku dalam sekali 'sergapan'. Terus terang ia tersentak kaget dan mengeluarkan erangan tertahan, sebelum akhirnya ia pasrah dan kembali mengemudi.

Agak sulit rasanya 'mengisap' dalam posisi duduk menyamping begini. Aku harus mengatur posisiku sedemikian rupa agar dapat melakukannya dengan baik. Om Wi' pun berusaha mengatur posisinya sedemikian rupa. Bahkan ia berusaha melepas celananya yang tadi tersangkut di lutut dengan gerakan yang cekatan tanpa harus mengganggu gerakan kakinya menginjak kopling dan gas. Sebuah ketrampilan yang mungkin tak semua orang bisa melakukannya dengan baik.
Posisi kaki Om Wi' kini menjadi lebih bebas. Dibentangkannya lebar-lebar pahanya yang penuh bulu itu. Seolah memberiku kesempatan untuk 'melahap'nya habis-habisan. Tangannya kemudian menekan kepalaku untuk lebih menelusup ke bawah, ke wilayah kantung pelirnya. Tapi aku agak kesulitan karena kepalaku terbentur batang kemudi. Dan Om Wi' pun kemudian dengan sigap agak menyandarkan posisi duduknya untuk memberiku ruang, sehingga kepalaku kini lebih leluasa menjelajahi selangkangannya. Maka kujilati apa yang bisa kujilat. Kukerahkan bibir, lidah dan hidungku untuk menelusuri setiap daging dan bulu yang ada disitu. Aroma khas yang tercium membuatku makin semangat bermain-main di daerah itu.

"Hend.. Hend..," bisik Om Wi' agak keras memanggil-manggil namaku.

Semula aku pikir ia tengah mengekspresikan rasa 'keenakan', tapi ternyata ia memintaku untuk berhenti karena kami sudah sampai ke tujuan. Pelan-pelan Om Wi' menghentikan mobilnya dan ketika kuangkat kepalaku, di depan terlihat sebuah kompleks bangunan mirip resort.

"Itu mess perusahaan," katanya menjelaskan sambil tangannya sibuk memakai kembali celana pendek bermudanya. Celana dalamnya ia biarkan teronggok di bawah sebelum ia pungut dan diselipkan ke saku celananya.
"Kok 'CD'-nya nggak dipakai?" kataku sambil ketawa keheranan.
"Nanti juga dicopot 'kan?" jawabnya kalem.

Dasar! umpatku dalam hati. Tentu saja pikiranku jadi 'kemana-mana' mendengar kalimatnya itu.

Kami lalu turun dari mobil dan berjalan ke arah pos penjagaan. Kelihatan sekali Om Wijoyo sudah kenal dan dikenal baik oleh para penjaga mess di sini. Aku tak begitu heran, mengingat jabatan Om-ku cukup baik di perusahaan tempat ia bekerja.

"Ini kenalin, Hendro, keponakan saya dari Jakarta," kata Om Wi' sambil memperkenalkan aku kepada tiga orang petugas security di situ.
"Mau menginap berapa malam Pak?" tanya salah seorang kepada Om Wi'.
"Terserah dia, mau berapa malam," sahut Om Wi' sambil menunjuk ke arahku yang kebingungan.
"Cuma semalam saja kok Pak," cepat-cepat Om Wi' melanjutkan seolah meralat guyonannya.
"Monggo, silakan," kata salah seorang petugas mess sesaat kemudian setelah mengambil kunci dan mengantar kami ke salah satu guest house yang terbaik yang ada di situ.
"Om, emang kita mau nginap? Kan kita nggak bawa pakaian," kataku begitu sampai di ruang tengah guest house dan petugas yang mengantar kami sudah berlalu.
"Kamu serius amat sih?" balasnya sambil mendekatiku."Lagian kita memang tidak perlu pakai pakaian.."

Belum sempat aku menanggapi kalimatnya, tiba-tiba ia sudah menarik tubuhku dalam pelukannya dan menciumku dengan gemas. Gerayangan tangannya langsung kemana-mana. Dan sebelum akhirnya kami berdua tergeletak di lantai ruang tengah, ia telah melolosi seluruh pakaianku dan pakaiannya sendiri.

Tubuh gempalnya langsung menindih. Dan kami pun segera bergelut dengan penuh gairah di lantai guest house yang cukup dingin itu. Beberapa kali kami sempat bergantian posisi, saling tekan dan beradu 'pedang' disertai dengusan nafas yang makin lama rasanya makin sesak karena desakan birahi.

Beberapa kali kurasakan ketika aku berada di bawah dan mengepit pinggangnya, Om Wi' berusaha mengarahkan 'moncong rudal'nya ke celah pantatku diiringi dengan sodokan-sodokan ringan. Tampaknya ia ingin mengingatkanku bahwa ada satu 'pelajaran' lagi yang aku belum lulus menjalaninya (baca "Tamu dari Yogya").

"Jadi Hend..?" tanyanya sambil menatapku tajam ketika ia mulai melakukan gerakan-gerakan itu lagi.

Aku diam tak menjawab. Aku bukannya ragu, karena pengalaman pertamaku dengannya dulu sempat menimbulkan rasa nyeri. Tapi aku diam karena sedang mencoba menikmati sodokannya yang nakal di bawah sana. Rasanya geli, serasa dibelai-belai.

"Hend..," kembali suaranya terdengar, setengah berbisik.

Seolah memintaku untuk memenuhi permintaannya. Saat itu mataku masih terpejam meresapi gerakan-gerakan yang ia lakukan. Dan apa yang tengah aku resapi itu makin lama makin menjadi-jadi ketika kurasakan tubuh Om Wi' bergeser ke bawah, mengisap milikku sambil jari-jari tangannya mulai menggelitik liang pelepasanku. Tubuhku sesaat melenting sebelum ia mengatur posisiku sedemikian rupa sehingga kedua pahaku terangkat dan terkuak lebar.

Aku masih memejam. Tapi kali ini mulutku mulai meringis-ringis keenakan oleh sentuhan jarinya di bawah sana. Rasanya aku tak perlu menjawab keinginannya tadi. Respon kenikmatan yang kutunjukkan bagiku sudah cukup untuk mengatakan kalau aku mengijinkan dan menginginkan ia bertindak lebih jauh.

Dan keinginanku semakin bulat, ketika kurasakan lidah Om-ku mulai menggantikan jarinya untuk merangsang bagian bawah tubuhku. Dalam sekejap air liur hangat dan licin mulai membasahi. Lalu ada gerakan jari dan lidah menusuk, mengusap, bergantian. Kedua pahaku sempat hampir mengatup karena sangat kegelian, namun dengan sigap Om Wi' membentangkannya lagi.

Om-ku ini, adalah orang yang sebenarnya tak banyak maunya. Tapi kalau menyangkut keinginan seks, ia sulit untuk dikendalikan. Aku mulai mengenal sifatnya ini ketika mulai dekat dengannya, di samping pengakuan yang ia ceritakan sendiri.

"Sebentar ya..," Om Wi' berbisik dan kemudian beranjak berdiri.

Tubuh bugilnya sudah terlihat agak basah oleh keringat. Senjatanya mengacung besar ke depan dan bergoyang-goyang ketika ia berdiri dan berjalan ke arah tumpukan pakaian kami. Tangannya lalu meraih sesuatu dari tas pinggangnya.

Belum sempat aku berpikir, Om Wijoyo sudah berbaring kembali di sampingku dengan sebuah tube dalam genggamannya. Pelumas! Ah, rupanya ia ingin mempersiapkan segalanya dengan sebaik-baiknya. Sambil senyum-senyum, tangannya bergoyang-goyang menunjukkan tube itu ke arahku. Gantian aku yang meringis tersenyum melihat ulahnya.

"Kenapa?" tanyanya heran melihat reaksiku.
"Nggak pa-pa..," jawabku enteng.
"Memang Hendro belum pernah pake ginian?" tanyanya.

Aku menggeleng, meskipun aku tahu untuk apa kegunaan pelumas itu bagi seorang duda seperti dia.

"Om suka pake ini buat beginian..," katanya lagi sambil memeragakan gerakan onani.

Aku tak menanggapi, malah kuraih tube pelumas itu dari tangannya dan ia membiarkanku melumuri batang kemaluannya. Sisa pelumas kemudian aku oleskan sendiri ke celah selangkanganku. Ia tersenyum lebar melihat apa yang kulakukan.

Kami pun lalu saling merangsang. Tanganku mulai mengurut dan memijat batangnya. Sementara tangan kanannya terulur dan jarinya mulai menggelitik ke sela pantatku. Rasa geli langsung menyergapku. Jari-jari itu terasa licin mengulir dan membelai-belai di bawah sana.

Spontan aku berbaring, melipat kedua lututku ke atas dan membentangkan pahaku lebar-lebar. Kutinggalkan batang kemaluan Om-ku yang sudah menegak lagi. Kunikmati permainan jarinya. Kuresapi tusukan dan gelitikannya. Geliat tubuhku bahkan tak membuat gerakannya meleset. Malah semakin gencar.

Tanganku yang semula hanya terentang kini mulai mencari pegangan. Dan pegangan yang terdekat adalah sebatang otot pejal milikku sendiri. Sisa pelumas yang ada melancarkan kocokanku. Sesekali suara kecipak terdengar bagai lagu pengiring yang mengantarkanku mendaki puncak kenikmatan.

Suara lenguhan mulai sering terlontar dari mulutku. Dan tubuhku beberapa kali bergidik oleh rasa geli nikmat layaknya orang kencing yang tertahan lama. Tapi ini pasti akan menjadi kencing yang jauh lebih nikmat. Apalagi ketika Om Wi' merebut 'tongkat' yang ada di genggamanku dan menggantikanku meloco milikku. Tanganku kini terentang pasrah.

Kunikmati kedua tangan Om-ku yang masing-masing sibuk merangsang pantat dan batang kemaluanku yang rasanya makin licin karena pelumasnya telah bercampur dengan keringatku. Bahkan aku tak menyadari kalau dua jari Om Wi telah memasuki celah anusku. Artinya 'jalan'ku sudah mulai longgar. Jari tengah dan telunjuknya bergantian menggelitik, bergerak seperti tengah menggaruk.

Waktu itu, sepeninggal Om Wijoyo ketika pulang dari Jakarta dulu, aku memang mempunyai kebiasaan baru bila tengah melakukan onani. Aku mulai suka merangsang sendiri anusku dengan jari sementara tangan yang lain tetap 'memompa' seperti biasanya. Ada sensasi tersendiri ketika mengocok sambil menyentuh lubang yang lembut itu dengan ujung jari yang sebelumnya sudah aku beri pelumas.

Kegelian dan kenikmatan yang kuarasakan selama onani menjadi bertambah. Aku seperti dirangsang dari dua kutub yang berbeda. Dan ketika ejakulasiku datang, orgasme yang kurasakan sangat intens, lebih dari biasanya. Itu baru diakibatkan oleh sebuah jari. Bagaimana kalau yang menggelitik lubang tubuhku itu sebuah..

"Hend..," bisikan Om Wi' terdengar dekat di telingaku.

Rupanya ia telah mengangkangiku dan meminta ijinku untuk memulai. Kedua pahaku sudah terangkat dan terbuka lebar. Kedua tangan Om Wi' berusaha menahan posisi ini dan tubuhnya agak condong menindihku. Aku hanya bisa memeluk lehernya, mengecup pipinya, dan..

"Fuck me.. Please..," bisikku ke telinganya. Matanya menatapku seolah menanyakan keseriusanku. Aku mengangguk meyakinkannya.

Aku tak ingin melihat apa yang bakal terjadi. Layaknya seorang perawan yang baru pertama kali diperawani. Aku hanya mau merasakan dan meresapi saja ketika pelan-pelan sebuah benda bulat kenyal mulai menelusup ke garis anusku yang sudah basah oleh pelumas. Kuatur konstraksi otot cincin yang ada di sana untuk menyambut hadirnya bagian tubuh Om-ku yang selama ini terus membayang dalam pikiran birahiku.

Kurasakan mulai ada sesuatu yang dijejalkan, lalu sebuah tekanan, pelan namun kuat. Om Wijoyo mencoba melakukan 'pengeboran' sambil sesekali menciumi bibirku. Sementara aku hanya pasrah saja.

Ketika aku mulai merasakan ada sebuah tusukan, entah kenapa tiba-tiba mataku berair. Aku tak menangis. Mungkin cuma sebuah emosi yang tak bisa lagi kukendalikan. Dan ketika tusukan itu makin dalam, emosiku makin meluap. Mataku terpejam dan makin membasah. Om Wijoyo mencoba menutup bibirku dengan tangannya, dipikirnya aku menangis.

"Ssshh.. Sshh..," ia mencoba meredakan emosiku seperti seorang ayah tengah menghentikan tangis anaknya. Dan aku bukannya diam, tapi malah kini aku benar-benar keluar air mata.

Lalu aku mencoba membuka mataku dan mencoba meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja.

"Teruskan Om.." bisikku sambil sedikit kuangkat pinggulku seolah aku siap menerima tubuhnya.

Kulihat wajah Om Wijoyo agak tegang dan sedikit memerah. Lalu dengan pandangan yang sulit kuartikan, ia mulai membalas gerakanku dengan menekan pinggulnya ke bawah. Makin kuat.. Makin kuat.. Dan sebuah tusukan panjang terasa meluncur di dalam liang bawah tubuhku. Seketika aku menggeliat dan mengerang. Kali ini Om Wi' tak peduli dengan diriku lagi, apakah aku kenikmatan atau kesakitan.

Aku memang sedikit merasakan rasa nyeri. Tapi rasa nikmat yang kudapat mengalahkan semuanya. Maka kubiarkan ia terus menekan dan menekan. Bahkan aku sesekali mengangkat pantatku agar tusukannya lebih dalam. Dan aku bisa merasakan gesekan batangnya. Lembut meluncur di sepanjang dinding anusku.

Akhirnya, pinggul Om-ku mulai lancar bergerak maju mundur layaknya sebuah 'piston' pada sebuah alat pengebor. Inilah anal seks pertamaku! Terus terang aku ada perasaan seperti kehilangan sesuatu. Tapi di sisi lain aku seperti mendapatkan sesuatu yang lain: rasa nikmat yang belum pernah kurasakan dan sentuhan kasih sayang dari Om-ku yang berbeda dari biasanya.

Aku merasa benar-benar dalam naungan dan kekuasaannya. Tapi aku menikmatinya. Demikian juga dia. Suara 'ah oh' mulai terdengar dari mulutnya. Sementara aku melenguh-lenguh kenikmatan. Aku memang sungguh kenikmatan. Benda pejal itu serasa menggesek dan menggelitik seluruh syaraf tubuhku bagian dalam.

Kegelian yang tak bisa kugaruk. Kenikmatan yang sulit kuatasi. Mataku semakin berair merasakan desiran-desiran halus di sekujur tubuhku yang makin lama berubah menjadi desak-desakan rasa geli dan nikmat yang berbaur jadi satu.

Posisi Om Wijoyo kini tidak lagi menindihku tapi ia sudah berlutut di antara kedua kaki dan pahaku yang dibentangkannya lebar-lebar. Ia bagai koboi yang tengah menghela kuda tunggangannya. Sementara aku tersengal-sengal oleh sodokan-sodokan nikmatnya. Bulu-bulu di perutnya yang agak buncit itu tampak basah oleh keringat. Tubuhnya yang 'sekel' tampak berkilat, bagai seorang kstaria berbaju baja. Kulit tubuhnya yang bersih terlihat memerah oleh gelora birahinya sendiri.

Siang ini aku betul-betul pasrah pada dunia. Sekiranya akan terjadi kiamat pun, aku sepertinya akan siap menghadapinya. Tanganku terentang pasrah dan sesekali mencari pegangan. Tapi yang kutemukan hanya lantai licin yang basah oleh keringat kami. Lalu ketika kutemukan sebuah 'pegangan' dari bagian tubuhku sendiri, aku pun akhirnya meloco milikku sendiri meningkahi nikmatnya sodokan-sodokan yang dibuat Om-ku dari depan.

Tubuhku beberapa kali sempat menggelinjang hebat merasakan rangsangan yang datang dari bagian depan dan bawah selangkanganku. Tapi Om Wijoyo sama sekali tidak berusaha menahan liarnya gerakan tubuhku. Dibiarkannya aku menggeliat-geliat di atas lantai yang telah licin oleh keringat, sementara ia sendiri terus asyik berpacu laksana kuda jantan lepas kendali. Sesekali terdengar suara kecipak yang ramai. Aku tak tahu apakah itu suara kecipak punggung basahku yang beradu dengan lantai licin ataukah kecipak pahanya ketika membentur-bentur bukit pantatku.

Berkali-kali aku merintihkan nama Om-ku, tapi ia seperti tak peduli lagi. Karena aku juga memang tak bermaksud memanggilnya. Ia pun beberapa kali menyebut-nyebut namaku dalam suara yang terdengar seperti desahan. Kelihatan sekali ia sangat kenikmatan. Sesekali bisa kurasakan tubuhnya bergetar menahan desakan birahinya.

Lantai benar-benar telah basah oleh peluh kami berdua. Rambut Om Wi' yang ikal tampak menjuntai basah dan sebagian jatuh ke keningnya. Air tampak menetes-netes dari ujung kumisnya, menimpa perutku yang juga sudah basah oleh keringatku sendiri. Lalu di luar dugaanku, Om Wi' merebut batang kemaluanku yang tengah kukocok dan kini gantian ia yang mengonani diriku. Aku tersentak oleh betotannya. Gerakan tangannya menjadi lebih liar dan kasar, tapi rasa nikmat yang diberikan lebih sensasional.

"Ooohh.. Oohh.." berkali-kali aku mengeluarkan suara-suara yang tak jelas maknanya.

Aku tak mengerti mengapa rasa nikmat itu sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Rasanya bahasa tubuh dan suara mulut kami berdua lebih bisa mengekspresikannya. Om Wi' sendiri terus menggeram dan mengerang bagai singa liar tengah mengawini betinanya. Matanya yang biasanya teduh itu kini tampak memicing buas.

Sesaat ruang tengah guest house itu menjadi arena lenguhan dan erangan tertahan yang keluar dari mulut kami berdua. Dan lenguhanku akhirnya berujung pada desahan panjang ketika aku tak bisa membendung lagi muncratnya air kenikmatan dari ujung kepala kemaluanku. Memancar, muncrat dan meleleh, membasahi tangan Om Wi' yang terus saja mengurut-urut batang milikku. Sesaat kemudian tangannya menggenggam bagian kepala kemaluanku yang sedang dalam kondisi sangat sensitif itu, kemudian meremasnya dengan lembut. Sentuhan terakhirnya itu membuat tubuhku bergidik hebat, tersengal dan aku memohon-mohon dia untuk menyudahi remasan tangannya itu.

Om Wijoyo lalu melepas tangannya dan mencabut miliknya sendiri untuk kemudian dikocok-kocok di atas perutku. Tak beberapa lama kemudian ia mulai menggeram tak karuan. Dalam posisi berlutut sambil mengocok seperti itu pantatnya tampak maju mundur dan mengejang-ngejang seolah menahan sesuatu yang ingin keluar.

Hingga akhirnya suaranya makin meracau dan berujung pada sebuah teriakan tertahan ketika semburan cairan putih kental beberapa kali menyemprot ke arah dada dan perutku. Sejenak kubiarkan ia tenggelam dalam puncak syahwatnya sebelum akhirnya tanganku menggenggam miliknya, kemudian kupilin-pilin dan terakhir kubalas perlakuannya tadi dengan meremas bagian kepalanya yang membulat besar itu. Ia berusaha menghindar dengan menarik pantatnya ke belakang, tapi aku tetap mencengkeramnya. Sampai akhirnya tubuhnya yang gempal itu jatuh berguling, telentang dan aku menindihnya.

Ada sekitar lima menit kami berbaring telanjang, saling bertindihan di atas lantai. Tak ada satu pun suara keluar dari mulut kami kecuali suara nafas yang masih belum teratur.

"Gimana Hend..?" tanya Om Wi' setengah berbisik.
"Not bad..," jawabku singkat.
"Harus dibiasakan..," katanya sambil tersenyum.
"Mumpung masih ada waktu bersama Om di sini."

Ini memang baru hari Sabtu. Besok masih ada Minggu dan ditambah dua hari lagi aku berada di Yogya. Tentu saja aku akan memanfaatkan waktuku sebaik-baiknya bersama dia. Tapi aku tak mengomentari ucapannya, tapi malah kupeluk dan kudekap tubuhnya erat-erat. Masih terasa lengket oleh keringat bercampur cairan kenikmatan dari tubuh kami berdua.

Sore itu kami memutuskan untuk kembali ke Yogya, setelah mandi di guest house dan makan siang di pinggir jalan. Kini gantian aku yang memegang kemudi. Penjaga mess sempat heran ketika kami pamitan dan tidak jadi menginap.

"Kami lupa bawa pakaian Pak," kata Om Wijoyo memberi alasan.
"Katanya nggak perlu pakaian..," bisikku mengodanya.

Ia menekan pahaku agar tidak meneruskan kalimatku. Mobil segera kuluncurkan ke arah Yogya dan kami tiba di rumah sekitar setengah tujuh malam. Dede belum kelihatan, tapi si Putri sudah ada di rumah. Malam itu kami bertiga keluar bermalam minggu, makan malam ke daerah Bantul. Sekitar jam sebelas aku sudah tertidur lelap, sendirian di kamar tengah yang disediakan untuk tamu. Sebelumnya kami sempat ngobrol dulu di ruang keluarga sambil nonton acara TV. Si Putri minta ijin tidur duluan, karena besok pagi akan ada acara ke luar kota lagi.

Tak lama kemudian gantian aku yang meminta ijin untuk tidur. Om Wi' sepertinya mafhum dan ia malah mengantarku ke kamar. Kami sempat bercumbu sejenak di dalam kamar tapi rasanya tak mungkin malam ini aku tidur berdua dengan Om Wijoyo. Di samping karena ada si Putri di rumah ini, permainan cinta kami tadi siang cukup menguras tenagaku. Toh besok masih ada hari Minggu, kata Om Wi' sebelum meninggalkan kamarku.

Dan keesokan paginya, subuh-subuh Om Wi' sudah mengetuk pintu kamarku. Aku sendiri masih tiduran. Dan begitu kubukakan pintu, aku langsung balik ke ranjang dan 'melingkar' lagi ke dalam selimut. Om Wi' segera menutup pintu kamar dan bergabung denganku di ranjang, ikut melingkar di balik selimut.

Menurut Om Wi', ia baru saja mengantar Putri ke terminal, katanya sambil memeluk tubuhku dari belakang. Tangannya langsung merogoh, menggenggam. Kebetulan aku tidur hanya bercelana kolor saja. Dan kebetulan pagi ini 'si kecil' sedang kencang-kencangnya bangun.

"Main yuk..," bisik Om Wi' sambil tangannya mulai mengelus-elus milikku.

Aku menggeliat, pura-pura menghindar. Tapi ia malah makin ketat mendekapku dari belakang dan mempererat genggamannya.

"Katanya mau dibiasakan..," rayunya lagi. Kali ini tangannya sudah mulai memijit-mijit milikku dengan nakal. Aku menggeliat lagi. Kali ini bukan untuk menghindar tapi aku kegelian oleh perbuatannya.

Aku diam saja tak menjawab. Yang keluar hanya suara erangan seperti anak kecil yang malas bangun pagi. Tapi semakin aku tak menanggapi ajakannya, tangannya malah semakin usil. Dibelai-belainya kantung kemaluanku yang pagi ini sedang padat-padatnya. Lalu sesekali tangannya berpindah ke belakang membelai-belai bukit pantatku, sambil jari-jarinya bermain-main ke celah-celahnya.

"Hendro, ayo bangun dong," kali ini nadanya seperti membujuk. "Kalau nggak mau, kita sarapan aja yuk!" lanjutnya seperti seorang ayah tengah merayu anaknya agar mau makan.
"Sarapan apa?" kalimat pertamaku akhirnya keluar.
"Pisang! Mau?" sahutnya. Tangannya lalu mengarahkan tanganku ke belakang untuk memegang miliknya yang sudah tegang membesar.

Rupanya tanpa sepengetahuanku, selama tangannya yang satu tadi sibuk bergerilya, tangan yang lain diam-diam melolosi pakaiannya sendiri. Om-ku kini dalam keadaan bugil dan masih memelukku dari belakang. Batang kemaluannya yang kini ada dalam genggamanku sudah sedemikian tegangnya. Ia kemudian menciumi kupingku dan mulai menjilatinya. Rangsangannya inilah yang akhirnya membuatku menuruti kemauannya untuk bermain cinta pagi itu.

Sesaat kemudian aku sudah menyusup ke bawah selimut dan melahap miliknya bulat-bulat. Aku puas-puaskan sarapan 'pisang ambon' yang berukuran besar itu. Sayup-sayup dari balik selimut kudengar lenguhan kenikmatan Om-ku setiap bibir dan lidahku menyentuh bagian tubuhnya yang paling pribadi itu.

Akhirnya pagi itu kami bermain cinta dengan penuh gelora. Di ronde pertama Om Wi' minta aku untuk 'menungganginya'. Ia mau mengajariku untuk melakukan posisi 'doggy style'. Dibimbingnya aku 'masuk' dari arah belakang.. Benar-benar sensasional. Tubuhnya yang padat berisi merangkak layaknya kuda tunggangan yang siap untuk dipacu. Bukit pantatnya yang padat tampak makin membongkah saja dalam posisi begitu. Baru kali ini aku bisa mengamati adanya bulu-bulu halus yang tumbuh di sekujur pantatnya. Sexy!

Ia masih sempat beberapa kali mengarahkanku untuk masuk, sebelum akhirnya aku menjadi pandai sendiri dan selanjutnya trampil 'menungganginya'.

Permainan kami baru berakhir sekitar jam sepuluh pagi, setelah di ronde kedua gantian ia yang 'menunggangi' tubuhku dari belakang. Ternyata dalam posisi begini memang mempunyai kenikmatan tersendiri. Aku tak bisa melihat, tapi bisa merasakan desakannya pada pantatku. Rasanya seperti ada yang meluncur-luncur, menyumpal, mengganjal, tapi enaknya bagai tak berujung..

Hari Minggu siang itu, usai semuanya, relatif kami tak punya acara lagi. Hanya putar-putar kota cari makan. Sorenya baru pulang dan mendapati Dede sudah ada di rumah. Besoknya aku sudah mulai sibuk melaksanakan tugas kedinasanku yang harus kuselesaikan dalam dua hari hingga Selasa.

Selama di Yogya itulah aku menginap di rumah Om Wijoyo. Sebelum kepulanganku Rabu pagi besok, malam-malam ketika semua sudah terlelap, Om Wijoyo mengundangku untuk 'menikmati' kamarnya. Tengah malam itu kami bercinta habis-habisan hingga jam tiga pagi. Aku benar-benar menuruti kata Om-ku untuk 'membiasakan diri'.

Dan ia benar-benar mau membimbingku, sehingga sulit bagiku untuk membedakan, apakah itu bimbingan yang baik atau buruk dari seorang Om kepada keponakannya. Aku tak peduli. Aku berusaha untuk menikmatinya saja dan melakukannya dengan cara yang menurut kami (bukan orang lain) adalah yang paling baik.

Besoknya Dede dan ayahnya mengantarku ke stasiun Tugu. Aku seperti mengalami deja vu. Suasana perpisahan ini seperti yang kurasakan ketika kepulangan Om Wi dari Jakarta dulu. Hanya kali ini aku yang menangis dalam pelukannya. Om Wi' sendiri berusaha untuk tegar.

Hanya matanya agak berkaca-kaca menatapku. Mungkin ia sengaja menahan diri, karena rasanya tak lucu kalau Dede melihat ayahnya sedang menangis. Dede sendiri tak sempat melihat itu semua, karena ia tengah sibuk membantu menaikkan barangku ke atas kereta.

Satu hal yang membuatku merasa lega: aku telah berhasil melewati satu 'pelajaran' penting dari Om Wijoyo dan aku sangat menikmatinya. Mungkin aku hanya perlu membiasakan diri, sebagaimana pesannya. Tapi sampai sekarang aku belum dapat menjawab, apakah aku bisa membiasakan hal itu dengan orang lain, ataukah harus membiasakannya dengan Om-ku seorang saja.

Tadi pagi sebelum aku berangkat, Om Wi' sempat datang ke kamarku dengan sebuah kejutan. Ia memintaku untuk melepas celana dalam yang sedang kupakai dan ditukar dengan miliknya yang juga sedang dipakainya saat itu. Ia bahkan membantu melepas celana dalamku dan masih sempat melakukan oral padaku beberapa saat. Oleh-oleh paling enak dari Yogya, katanya.

Aku masih terus berpikir, apakah pertukaran 'CD' itu merupakan keinginanya agar kami berkomitmen untuk saling memiliki, atau hanya sekedar pertukaran biasa yang tak bermakna apapun. Dan hingga kereta yang kutumpangi memasuki Stasiun Gambir, aku belum juga menemukan jawabannya.

E N D



Tidak ada komentar:

Posting Komentar