Jumat, 20 April 2012

Senjata Makan Tuan




Aku heran mengapa Arya tidak mau
menerima cintaku padahal kami
sudah dekat dan hampir saling
tergantung, dan sampai detik ini aku
tetap tak habis pikir kenapa dia
menolakku, padahal aku memiliki
hampir semua hal yang dia butuhkan
untuk kesenangannya. Aku selalu
membantu mengerjakan tugasnya,
memberi fasilitas mengetik, aku jago
main musik dan itu sangat
mendukungnya setelah dia bersolo
karir.
Aku juga tidak terlalu jelek, malah
beberapa teman gay-ku mengatakan
aku imut dan seksi. Tapi apa yang
terjadi? Sejak aku menembaknya
hari itu, dia menyumpahiku habis-
habisan dan tak ingin melihatku lagi.
Dia bilang tak ingin tertular jadi gay!
Dia bahkan ingin membuang
semuanya tentangku: pindah kost,
pindah tempat kuliah, bahkan
mengganti nomor handphone dan
mengganti motornya, jadi aku akan
kehilangan jejaknya.
Tapi apa sih yang tidak bisa
kudapatkan? Sejak di Yogya aku
mendapatkan banyak kemudahan
karena keahlianku. Aku jago
komputer, programmer, sehingga
banyak orang yang jadi temanku
karena kuperbaiki komputernya atau
karena kubuatkan tugas
pemrogramannya. Atau banyak
anak-anak band yang sering
memakaiku sebagai additional player.
Termasuk di antara teman-temanku
adalah orang-orang penting, orang-
orang kaya, dan anak-anak dunia
malam.
Dan setelah beberapa bulan aku
dibuat patah hati olehnya dan tidak
tau jejaknya, seorang temanku yang
terkenal alot dan teliti berhasil
mendapatkan berita tentang lokasi
Arya yang baru, di kampung X, dekat
kampusnya yang baru. Tidak sulit
untuk menemukannya. Aku ke sana
saat malam hari dengan seorang
temanku dengan membawa apa saja
yang kuperlukan. Tidak bisa
mendapatkan cintanya, aku harus
mendapatkan tubuhnya, adil kan?
Jam tanganku menunjukkan pukul
21:35 dan terlihat seseorang menutup
pintu gerbang kontrakan yang agak
keren itu. Lalu setelah lampu depan
dimatikan, aku dan seorang temanku
yang ahli dalam hal ini kemudian
memanjat pagar dan mengendap
menuju pintu kamar Arya. Setelah
beberapa kali mengetuk, Arya
membuka pintu dan betapa
terkejutnya dia saat sesuatu
mengenai kepalanya dengan telak,
itu ulah temanku Doni.
Dia pingsan! Bagus! Level berapa pun
dia di perguruan silatnya, ternyata dia
tak berdaya menghadapai serangan
mendadak dari Doni. Lalu kami
menyeretnya ke dalam kamarnya.
Aku memberi isyarat pada Doni yang
lalu memborgol masing-masing dari
kedua tangannya ke samping lalu
mengikat kedua kakinya pada sisi-sisi
tempat tidur.
"Udah Don, tugasmu selesai, makasih
ya?"
"Santai aja lagi, kan kamu sering
nolongin aku. Tapi kamu yakin nggak
perlu bantuanku lagi?"
"Iya, aku jamin besok aku ketemu
kamu dalam keadaan senang."
"Ya udah, aku pulang duluan ya?"
Lalu Doni mengendap-endap untuk
keluar dari lingkungan kontrakan itu
dan kembali ke markasnya.
Aku tertawa dalam hati. Akhirnya
kudapatkan tubuhmu. Siapa suruh
kau menolakku? Lalu aku
mengendorkan ikat pinggangnya dan
membuka kancing bajunya. Kuraba-
raba badannya sambil mulai kuciumi
mukanya. Aku hanya mendesah-
desah merasakan hal yang selama ini
cuma jadi impianku. Tak lama
kemudian, mungkin karena
terganggu suara desahanku, akhirnya
dia bangun dan kaget karena ada
sebentuk wajah yang menempel
pada wajahnya.
"Ooi.. Lepasin.. Beraninya cuman kalo
kayak gini aja, pengecut!" Dia
mencoba menarik kedua tangannya
yang diborgol, juga kedua kakinya,
tapi tidak bisa.
"Memangnya kenapa? Ayo, keluarin
tenaga dalammu, dasar jagoan takut
hantu!"
"Oouggh.. Ternyata kau! Dasar homo
tak tahu malu! Aku akan hajar kau"
"Hajar aja kalo bisa"
Aku terus mencumbuinya.
Kuperosotkan celananya lalu kubelai-
belai pangkal pahanya. Sambil terus
berusaha berontak, Arya cuma
memejamkan mata sambil berpaling
ke kiri, mungkin karena jijik. Lalu aku
mulai meraih benda ajaibnya yang
panjang dan besar. Kuelus-elus
sampai akhirnya tegang juga. Dan
dia tidak meronta lagi.
"Aku nggak nyangka, ternyata kamu
bisa horny juga sama aku, kenapa
dulu kamu tolak aku?"
"Diam!! Ooii.. Lepasin.. Ooi.. Tolong.."
Wah, gawat! Pikirku. Kalau sampai
ada yang mendengar. Lalu
kunyalakan radio yang ada di
sebelah dengan volume yang kira-
kira bisa mengelabui orang di luar,
tetapi tidak terlalu berisik. Lalu
kuganjal mulut Arya dengan mulutku.
"Apa, kamu bisa apa.."
Aku melepaskan baju dan celanaku.
Aku terus mengelus-elus
batangannya sampai dalam
ketegangan maksimal, dan di luar
dugaanku, dia mulai mendesah.
"Ouh, jangan.. Jangan.."
"Jangan apa? Jangan lepasin? OO,
aku puasin kamu malam ini.."
Aku kocok batangannya beberapa
lama sampai precumnya keluar,
pertanda dia mulai dialiri nafsu.
Kemudian kulepaskan tanganku. Dia
terlihat kaget dan ingin protes, tetapi
kemudian aku memerosotkan
celananya lebih lebar dan,
kumasukkan batangannya ke
mulutku. Sambil Arya merasa
keenakan, tanganku mulai mengelus-
elus lubang pantatnya dan dia
mengerang-erang karena kegelian.
"Kenapa? Enak ya? Nyesel nolak
aku?" tanyaku sinis.
"Li, lepasin tanganku Li, please.."
"Untuk apa? Supaya kamu kabur?"
"Enggak Li, supaya aku bisa ngocok
punyamu juga"
"Ah, alasan. Udah diam! Kalo mau
bikin aku enak juga, nanti bakalan
datang waktunya, nggak perlu pake
tanganmu"
"Apa maksudmu?" dia bertanya
dengan nada merinding.
Aku tidak mempedulikan lagi kata-
katanya, aku terus mengelus-elus
lubang pantatnya sambil sesekali
memasukkan jariku. Pertama
kelingking, lalu telunjuk, ibu jari, dan
akhirnya dua jari sekaligus.
"Kamu gila ya? Mau nyodomi aku?
Kuhajar kau besok!"
"Udah, tenang aja, nanti juga kamu
ketagihan."
Aku melepaskan mulutku dari
batangannya yang basah karena
liurku, lalu mengocoknya perlahan-
lahan dengan tanganku. Dia semakin
mendesah-desah.
"Li, aku mau.." Aku cepat tanggap
dan kulepaskan tanganku. Arya
kaget.
"Kok dilepasin..?"
"Enak aja, mau orgasme sendirian?
Emang dari dulu kau tuh pelit dan
egois!"
Lalu aku meletakkan dua buah bantal
di bawah tubuhnya sehingga
tubuhnya agak terangkat ke atas,
dan aku mendekap mulutnya dengan
ban pinggang karatenya yang
kudapatkan di gantungan. Aku
mengubah posisiku sehingga dengan
duduk melipat kaki aku bisa
mengarahkan batanganku ke
anusnya. Aku terus berusaha
memasukkan batanganku ke
lubangnya, sementara mukanya
meringis menahan sakit sambil
menggoyang-goyang badannya
karena meronta.
"Udah, tenang aja, entar lagi kamu
keenakan"
Lalu, bles! Masuklah semua
batanganku yang memang sedikit
kalah besar dari miliknya. Aku
berhenti sejenak. Arya mengambil
nafas agak panjang, lalu aku mulai
menggesek-gesekkan batanganku di
dalam anusnya. Wajahnya terlihat
memelas, namun beberapa saat
kemudian dia mulai ikut mendesah
dengan mulut yang masih tersumpal.
Dia seperti ingin mengatakan
sesuatu, sementara wajahnya merah
dan mulutnya masih tersumpal.
Akhirnya aku melepas bungkaman
mulutnya, dan ternyata dia sedang
menggumam sendirian, keenakan.
Aku terus memaju-mundurkan
senjataku dengan frekuensi normal,
sementara wajah Arya terlihat
semakin memerah.
"Ayo Li, lebih cepat lagi"
Aku mengacuhkan kata-katanya. Aku
tidak mempercepat aksiku,
sementara kulihat batangannya
mengeluarkan semakin banyak
precum. Rupanya dia sangat
menikmatinya. Dengan posisiku
masih menungganginya dengan
duduk melipat kaki, aku mulai
sambilanku menciumi dadanya,
lehernya, telinganya, dan ia hanya
bisa pasrah menanti saat klimaks
datang.
"Li, aku nggak tahan lagi, kocokin
juga donk punyaku, oh.."
"Udah, tenang aja, bisa diam nggak
sih?"
Lalu sekitar lima menit kemudian,
aku merasa akan klimaks.
Kuhentikan rabaanku pada dadanya,
tapi aku mekin ganas menciuminya.
Kemudian, Crot! Crot! entah berapa
kali spermaku muncrat di dalam
anusnya. Badan Arya terus
bergoyang-goyang karena belum
klimaks. Aku tahu harus memberinya
kesan yang mendalam agar dia tak
lagi membenciku, bahkan jadi
menerimaku.
"Oh, chayank, nggak tahan lagi ya?
Sini kulepasin aja, biar kamu
melakukan apa aja, terserah"
Aku melepaskan ikatannya karena
yakin dia sedang diamuk nafsu. Dan
benar, setelah ikatan kaki dan
tangannya lepas, dia langsung
menciumiku dengan ganas dengan
berbagai gaya. Mungkin dia biasa
melakukannya pada ceweknya. Aku
agak sedih mengingatnya, tapi
nafsuku jadi kambuh lagi karena
gaya ciumannya terkesan jantan dan
romantis.
Dengan agak kasar karena terburu-
buru, dia membalik badanku lalu
memasukkan batangannya ke
anusku dengan paksa. Aku masih
kesakitan walaupun beberapa kali
aku pernah diperlakukan begitu. Tapi
tidak lama, karena akhirnya semua
batangannya masuk ke anusku, lalu
dia mengganti gaya kami sehingga
posisinya dia duduk dengan aku juga
duduk di atasnya.
"Kamu nafsu lagi ya? Sini" Lalu sambil
meneruskan aksinya, tangan
kanannya meraih senjataku yang
mulai bertuah lagi, lalu mengocoknya
dengan ritme yang sama dengan
tusukan-tusukan pedangnya.
"Oh, Li, aku mau keluar."
"Keluarin situ aja, aku juga mau
keluar"
"Oh, Li, enak, oh.. Li, aku.."
Tubuh Arya mengejang lalu
kurasakan beberapa tembakan
benda kental di dalam anusku, dan
Arya pun lemas dengan posisi yang
belum berganti. Tangannya terus
mengocok batanganku dengan
sangat cepat, dan, crot! Crot! Aku
orgasme lagi.
Setelah itu, dia menarik badanku
sehingga batangannya terlepas, dan
hasilnya kami berbaring bersisian.
Aku memeluk badannya. Awalnya ia
agak meronta, tapi aku tidak mau
melepasnya sehingga dia diam saja.
Pandangannya ke arah langit-langit
dan seperti menyesal.
"Kamu menyesal ya? Mau hajar aku?
Hajar aja! Aku udah dapat tubuhmu"
kataku agak sinis karena yakin dia
sudah telanjur keenakan.
Dia memandangku dengan tatapan
tajam. Aku berdebar-debar
menunggu reaksinya. Ternyata dia
balas memelukku dengan sangat
erat.
"Aku nggak mau pura-pura lagi,
ternyata aku butuh kamu, dalam
segala hal, aku sayang kamu, Li"
"Kalau tau bahwa kau akan luluh
setelah kupuaskan, pasti aku akan
memperkosamu dari dulu, hehe.." Dia
melotot padaku, aku agak ngeri
sambil melepaskan pelukan.
"Eh, tenang aja, aku benar-benar
sayang, walaupun karena ini aku
jadi, GAY!"
Dengan agak pahit dia
mengucapkannya. Lalu dia berbalik
dan mengambil handponenya di
meja.
"Ali, kamu masih di kost deket
warung itu? Berapa nomor
handphonemu?" Wah, rupanya dia
jadi luluh.
"Nomorku nggak kuganti kok"
jawabku.
"Iya, tapi aku kan lupa, nomorku
udah sering ganti" Lalu aku
menyebutkan nomorku.
"Tau nggak? Sejak kamu nolak aku, Aku benar-benar merasa nggak ada
gunanya hidup. Tapi sekarang, aku.."
"Gimana rencanamu sekarang, mau
nginap?" Arya memotong kata-
kataku.
"Kalau boleh" jawabku.
"Kamu sendiri gimana? Kamu kan
punya Erni, dia setia sekali, cantik
lagi. Aku selalu cemburu sama dia"
kataku.
"Udah, gimana kalo aku putusin dia,
kamu seneng?"
"Sebenarnya nggak perlu segitu, asal
kamu mau nyediain waktu buat aku,
aku udah seneng kok"
Setelah lama diam, dia bicara lagi.
"Li, kamu mau kan nangani lagu-lagu
baruku buat album besok?" Sambil
menepuk pundaknya, aku
menjawab.
"Iya lah, apa gunanya aku jadi
sephiamu. Udah, pake tu baju!"
"Nggak ah, aku pengen anu lagi,
kamu aja bisa dua kali"
Aku tertawa terbahak-bahak. Malam
itu kami melakukannya berkali-kali
dan kami hanya tidur beberapa jam
karena jam 7 pagi dia mengantarku
pulang ke kost. Sesampai di kostku,
aku pamit mau mandi. Setelah itu,
aku memakai deodoran lalu
menyemprot badanku dengan
parfum kesukaanku. Kulihat Arya
cuma bengong.
"Kenapa Ya'?" aku bertanya dengan
heran.
"Nggak kusangka ternyata wangi
badanmu bikin aku terangsang lagi"
Lalu dia mengunci pintu kamarku
dengan buru-buru lalu menciumi
badanku yang hanya dibalut handuk.
Aku jadi tegang sendiri. Dia melepas
handukku lalu mengocok batanganku
sambil mulai menciumi wajahku. Aku
mengerang-erang keenakan. Aku
sadar tentang situasi dan kondisi
yang berlaku, lalu menyetel radio
keras-keras. Arya menarikku lalu
membantingku di kasur. Untung
kostku sepi karena semua orang
sudah pergi ke kampus atau bekerja.
Arya melepasi pakaiannya lalu mulai
menciumi dadaku, leherku, bahkan
ketiakku diciuminya. Aku kegelian
sambil mencari-cari senjatanya.
Setelah kutemukan lalu kukocok
pelan-pelan.
"Ya?"
"Hm? Ada apa? Mau ngomong
sesuatu"
"Kamu pernah ngesex sama
cewekmu?"
"Belum, kenapa?"
"Berarti belum nyobain 69 ya?"
tanyaku lagi.
"Apaan tuh?" Lalu aku mengubah
posisi sehingga saling berbalik. Aku
mengulum batangannya.
"Kamu coba deh kulum punyaku
juga, asyik loh"
Lalu kami saling mengulum. Setelah
beberapa menit, dia membisikkan
bahwa dia ingin menyodomiku lagi.
Aku persilakan dia. Dia melihat
minyak rambut yang ada di sebelah
meja komputerku lalu
mengoleskannya pada anusku,
batanganku, dan batangannya
sendiri. Setelah itu dia mengocok
batanganku dengan mesra. Terasa
lain karena kali ini memakai pelumas
yang licin. Setelah dia yakin aku
terbang ke alam antah berantah, dia
langsung memasukkan senjatanya
ke lubangku. Aku menjerit sebentar
lalu mulai berubah jadi keenakan. Dia
terus memaju-mundurkan senjatanya
di anusku sedangkan aku mengocok
milikku sendiri.
"Li, aku mau klimaks, oh.."
Aku juga mempercepat kocokan
pada batanganku, dan saat dia
menjerit, aku pun klimaks. Tanpa
mencabut senjatanya, dia mencium
keningku dengan manis.
"Kamu nggak pengen nyogok aku
juga, li?"
"Nggak ah, kan aku udah klimaks
juga. Lagian capek, dari tadi malam."
Lalu kami saling tersenyum dan
saling mencium sampai kusuruh dia
mandi diikuti olehku yang juga mandi
di kamar mandi sebelahnya.
Setelah itu kami tidur di kamarku
sampai siang dan dia kembali ke
kontrakannya. Hari itu tidak satu pun
dari kami yang pergi kuliah, maklum,
sedang bernostalgila, eh, nostalgia.
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar