Kamis, 05 April 2012

Teman Taiwanku

Tahukah kau bagaimana rasanya sperma?!? Pernahkah kau mencicipinya walau hanya setetes?!? Yah, sperma! Yang aku maksudkan di sini bukanlah merk wine terbaru. Aku pernah, beberapa kali! Berhati-hatilah, efeknya lebih dahsyat daripada obat psikotropika mana pun, bisa bikin ketagihan!

Kalau bicara tentang sperma, bagiku hanya ada satu yang paling enak! Tapi sayangnya, aku tak bisa berbagi dengan siapa pun, karena yang satu ini hanya untukku! Dalam perkara yang satu ini, aku telah merelakan diriku untuk menjadi seseorang yang sangat egois. Pokoknya hanya aku yang boleh menikmati sperma Zai-Zai. Titik.

Setiap kali aku menghabiskan waktuku untuk melamun seorang diri, seringkali sosok cowok Taiwan berambut gondrong itu muncul di benakku. Aku diingatkan kembali tentang louivelle park, tempat di mana kami berkenalan di negeri kanguru sana. Jauh sebelum itu, aku memang pernah melihatnya di kampus, ketika ia menjadi ketua komite penerimaan mahasiswa baru. Kebetulan, dia memang seniorku, kami beda setahun. Sejak pertama kali melihatnya, aku sama sekali tidak menyukainya. Menurutku, dia termasuk pria yang kasar, dan pasti tak ada gadis baik-baik yang mau padanya. Kecuali gadis yang mencari tampang gantengnya saja atau kalau tidak, mata duitan! Memang harus aku akui, Zai-Zai cakep, face-nya chineese sekali. Matanya sipit, hidungnya mancung, dan bibirnya sesensual bibir idolaku, Aaron Kwok. Tapi sikapnya waktu itu memang sungguh menyebalkan, sampai-sampai aku ingin sekali menonjok mukanya. Jangan main-main dengan orang Indonesia yang satu ini, ancamku dalam hati ketika cowok sok hebat itu berdiri sambil mengacungkan jari tengahnya di depan mukaku.

Louivelle park di waktu sore, udara musim panas membuatku gerah untuk terus-terusan berada di dalam rumah Mr. Walsh yang tidak ber-AC ini. Aku memutuskan untuk keluar rumah dengan bersepeda. Saat itu, aku sudah punya tujuan jelas kemana aku akan mengayuh sepeda mustangku, tentu saja ke Louivelle park, sebuah taman kota yang letaknya tak jauh dari rumah orang tua angkatku, Mr Walsh. Apalagi jam empat sore, biasanya taman kota itu cukup ramai dengan anak-anak kecil yang bermain ayunan atau scratch, atau sekedar berlatih semaphore. Seringkali aku juga bergabung bersama mereka, di samping aku suka dengan anak-anak, menurutku tak ada salahnya juga mengulangi masa kanak-kanakku yang hampir terampas karena minimnya waktu bermain.

Setiap akhir minggu, aku pasti bermain kemari, mengunjungi orang tua angkatku. Sedangkan, pada hari biasa, aku memilih untuk tinggal di sebuah aparteman dekat kampusku di Melbourne yang berjarak kurang lebih 18 kilometer dari kota ini. Tapi sabtu sore itu aku sama sekali tak punya firasat apa pun, aku memutuskan bersepeda ke louivelle park hanya semata-mata untuk bermain dan mengendorkan saraf-saraf otakku yang seperti benang kusut setiap akhir minggu tiba. Sore itu, Aku sama sekali tak pernah berharap mendapatkan sebuah kejutan di tengah perjalananku menuju louivelle park.

Aku mengayuh sepedaku dengan kecepatan sedang menyusuri jalanan kota kecil yang rindang penuh ditumbuhi pepohonan di kanan-kiri jalan raya itu, sekilas mirip boulevard, tapi boulevard yang sepi. Terus terang, Aku telah jatuh cinta dengan kota kecil ini sejak aku mengenal keluarga Walsh dua tahun silam, suasananya tidak seperti hiruk pikuknya kota Surabaya atau Jakarta. Namun tiba-tiba, di tengah jalan, aku tersentak kaget karena nyaris menabrak seseorang, bersamaan dengan rasa kagetku, tanganku langsung mengkeram rem dengan begitu kuatnya, "hampir saja!" kataku seketika sambil menjejakkan kakiku ke jalan aspal. Seorang anak muda menatap ke arahku, tepat di depan setang sepedaku. Sorot matanya memancarkan rasa kaget bercampur marah. Aku mendengar ia mengumpat, tapi bukan dalam bahasa Inggris, melainkan dengan bahasa Mandarin. Meski tak mahir, aku mengerti sedikit Mandarin.

Ketika aku balas menatapnya, aku malah jadi lebih kaget lagi. Sepertinya tampangnya tak begitu asing bagiku. Aku teramat yakin kalau pernah melihatnya sebelum ini. Yah, dialah Zai-Zai, seniorku di kampus.

Aku berusaha menenangkan diri dan mengatur denyut jantungku kembali, kemudian aku membuka mulutku, "Sorry!" kataku.

Zai-Zai tak menyahut, ia kemudian melintas begitu saja di depan sepedaku. Melihatnya bertingkah seperti itu, membuat kejengkelanku naik sampai di ubun-ubun. Aku ingin sekali mengejarnya, mencengkeram pundaknya dan memberi sedikit pelajaran atas sikap sombongnya. Tapi entah mengapa, aku serasa tak kuat mengangkat kakiku untuk berlari mendekatinya. Aku hanya terpaku di tempatku berdiri saat itu, di tengah jalan raya. Lagi pula, kali ini aku yang salah karena tak berhati-hati sehingga hampir saja menabrak Zai-Zai yang menyeberang di Zebra Cross.

Tapi jangan dipikir kedongkolanku surut, sama sekali tidak. Bahkan ketika sampai di bangku taman, aku membanting sepedaku ke tanah. Aku tak lagi berminat main scratch atau sepakbola dengan teman-teman kecilku. Aku membanting tubuhku ke kursi taman, kemudian mengangkat kedua kakiku naik ke atas kursi. Aku termenung, tatapan mataku hampa menghadapi lapangan rumput kecil yang ada di depanku. Hanya satu yang aku pikirkan saat itu, kenapa aku makin benci saja dengan orang itu, setiap kali melihat tampangnya, aku malah makin tidak suka padanya.

"Sorry, apakah kamu melihat anjing pudel berwarna putih bermain di sekitar sini?" tanya seseorang yang tiba-tiba menepuk pundakku dan sudah berdiri di belakangku. Lamunanku pun langsung buyar seketika, aku menoleh ke arah orang itu.

"Kau.. Kau yang tadi hampir menabrakku itu kan?" tanya orang itu ketika melihat mukaku.

Aku benar-benar kaget setengah mati waktu itu.

"Ap.. Apa?" sahutku gagap.

Zai-Zai kemudian mengambil tempat duduk di sampingku. Ia memandangku dengan tatapan galak.

"Kau lihat anjingku tidak?" tanyanya sekali lagi sambil mengeja kata-katanya. Aku menggeleng, "Tidak!"
"Oke, aku cari dulu anjingku. Sebentar aku kembali kemari, kita pernah ketemu kan? Sepertinya aku harus membuat perhitungan denganmu," kata Zai-Zai sembari bangkit dari kursinya dan meninggalkanku, nadanya seolah mengancam, dan memang seperti itulah kalau ia sedang berlagak sok hebat di kampus.
"Yah, kita harus buat perhitungan! Aku ingin menonjok mukamu!" sahutku dalam hati.

Kembali kurapatkan kakiku lalu kulipat naik ke atas bangku taman. Kenapa aku begitu bego, aku kelihatan begitu lemah dan bodoh di hadapannya. Aku memang belum pernah berkelahi, tapi itu bukan berarti aku pengecut. Umur lima tahun, aku sudah tidur di kamarku sendiri dalam keadaan gelap, aku tidak pernah takut setan atau pun antek-anteknya, aku juga suka memanjat pohon sampai ke cabangnya yang paling tinggi dimana tak ada seorang pun temanku yang berani mencapainya. Pokoknya aku tidak ada bakat pengecut. Titik.

Sepuluh menit, dua puluh, tiga puluh dan sejam, cowok sok hebat itu tidak muncul-muncul juga. Aku sumpahin anjingnya tidak bakal ketemu sampai empat puluh hari, moga-moga saja anjing pudel itu kecantol sama salah satu anjing betina yang berkeliaran di sekitar taman, lalu mereka berdua kawin lantas bulan madu ke Paris, biar sekalian bingung tuh cowok! Tapi yah mungkin saja Tuhan tahu kalau harapanku itu terlalu berlebihan, hampir saja aku mengambil sepedaku untuk pulang ketika kulihat Zai-Zai kembali sambil menuntun seekor anjing yang berjalan mendahuluinya.

Anjing kecil itu mengibas-ngibaskan ekornya sembari mendekatiku, "Ya ampun, apa anjing ini kecantol padaku yah? Jangan-jangan aku yang nantinya dibawa bulan madu ke Paris! Tapi tidak, belum pernah kulihat ada anjing homo. Kalau memang ada, akan langsung ku kebiri saja dia!"

Zai-Zai mengambil tempat duduk di sebelahku, persis di tempatnya sejam yang lalu. Rantai yang mengikat anjing kecil itu diikatkan pada salah satu kaki kursi, tampaknya anjing itu harus pasrah tidak bisa kabur lagi seperti tadi, ikatannya sepertinya sangat kuat.

Tak lama sesudah itu, Zai-Zai membetulkan posisi duduknya, menatapku dan kemudian menjulurkan tangannya. Oh, tentu saja aku tahu maksudnya. Dengan sedikit ragu, kubalas uluran tangannya sambil waspada kalau-kalau ia membantingku mendadak. Ternyata dugaanku meleset, kami berkenalan!

"Namaku Lau Yen Fung, biasa dipanggil Zai-Zai. Kau?"
"Steve.. Namaku Steven,"
"Sepertinya kita pernah ketemu sebelumnya, betul kan? Kau berasal dari mana?"
"Yah, kita satu kampus. Aku mahasiswa baru, dari Indonesia!"

Zai-Zai tertegun untuk beberapa saat lamanya, keningnya berkerut-kerut naik turun, lalu dia ngakak sampai membuat jantungku hampir copot saking kagetnya, "Ya.. Ya.. Ya, aku ingat! Kau anak culun yang waktu itu kan?!? Kau tahu, kau sempat jadi primadona di kalangan teman-teman seangkatanku. Lucu.. Lucu, sangat lucu!"
"Sialan, aku dibilang culun! Memangnya siapa dia, merasa lebih hebat dariku?" umpatku dalam hati. Aku sengaja tak menjawab, karena bagiku menjawab sepatah kata saja itu sama artinya dengan menyetujui ucapannya.
Tetapi kemudian, Zai-Zai menurunkan volume tawanya, "Sorry kalau aku salah bicara. Tapi menurut aku pribadi, kau sepertinya anak baik," katanya sembari menepuk sebelah pundakku.

Ia mengerling sekali padaku, aku balas dengan senyuman. Anak baik, yah mungkin saja! Kau belum tahu siapa aku sebenarnya. Kalau sudah, tidak akan berlaku lagi predikat " a good boy" itu. Yah, biarlah waktu yang bicara, kita tunggu saja apa yang akan terjadi kemudian.

Singkat cerita, sore menjelang malam itu, aku harus menghabiskan waktuku berduaan saja bersama Zai-Zai. Semula ku pikir, aku pasti tidak akan betah duduk berlama-lama sembari mengobrol dengan Zai-Zai di atas bangku yang sama. Tapi ternyata aku justru merasakan sebaliknya, seolah jam jam berputar lebih cepat saat itu, tepat ketika kulirik jam tanganku sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Zai-Zai ternyata teman ngobrol yang asyik. Ia suka sekali dengan binatang, hobby nonton (sama denganku), dan maniak sepakbola.

Memang tak lama kami berbincang, kami harus pulang untuk makan malam. Tapi malam itu, aku sudah tahu cukup banyak tentang kepribadian teman baruku yang satu itu, juga tempat tinggal orang tua angkatnya yang cuma berjarak beberapa ratus meter saja dari rumah Mr Walsh. Kesimpulannya, aku menyukai kepribadiannya, dan itu sudah cukup untuk menghapus bersih seluruh kebencianku padanya.


Tidak ada lagi kebencian! Membenci orang itu sifat yang sangat kampungan dan useless! Jika kau menyimpan kebencian pada seseorang, temui orang itu, kenali pribadinya lebih dalam dan katakan padanya, "Aku sangat menyukaimu!" Kalau perlu bawakan setangkai bunga mawar (asal jangan yang kering) atau sebuah undangan makan malam dan kaulah yang mentraktirnya. Dijamin hidupmu akan awet, dan nantinya tidak akan bertambah banyak lagi orang yang mati muda karena stroke, sakit jantung, kanker, atau hipertensi.

Seminggu berlalu semenjak perkenalan itu. Akhir minggu ini sengaja aku tak pulang ke rumah orang tua angkatku. Aku sudah menjelaskannya pada Mr Walsh kalau aku tak bisa pulang saat itu karena ada banyak tugas kuliah yang harus dikerjakan di Melbourne. Aku bilang padanya, mungkin baru minggu depan aku akan melihat cucunya yang baru lahir. Syukurlah, Mr Walsh bisa memakluminya, meski entahlah apa yang ia maklumi karena aku berbohong saat itu. Aku sebenarnya tak punya satu tugas pun dari Mr Brown di akhir minggu itu. Tentu saja alasan itu hanya kubuat-buat supaya aku bisa tetap di Melborne dan menghabiskan akhir pekanku bersama Zai-Zai. Kami sudah ada janji, dan ia pun tak pulang ke rumah orang tua angkatnya di akhir pekan itu.

Jam sepuluh pagi, dengan menggunakan jetmatic, aku meluncur ke aparteman Zai-Zai di daerah port Philips, cukup jauh dari apartemanku. Di bangunan berlantai sepuluh itulah, Zai-Zai tinggal bersama dua orang teman laki-lakinya dari Taiwan, John Lung dan Nicky.

Aku baru kenal siang itu dengan mereka berdua. John berperawakan tinggi besar, berotot dan berkaca mata minus. Sedangkan Nicky, si tampang baby face, adalah cowok yang murah senyum dan sangat bersahabat, ia sangat cute. Aku merasa langsung akrab dengan keduanya siang itu.

Ketika aku tiba, Nicky yang membukakan pintu untukku dan mempersilahkan aku masuk. Sementara itu Zai-Zai masih mandi. Aku disuguhi pepsi dingin oleh Nicky, dan ia juga yang menemaniku ngobrol sebelum akhirnya John Lung keluar dari kamarnya dan bergabung bersama kami. Ternyata kita pun dari kampus yang sama, malahan Nicky seangkatan denganku. Sedangkan John Lung seangkatan dengan Zai-Zai, bahkan mereka satu kelas di kelas graphic design. Aku dengar sih, katanya di kelas graphic design banyak cowok homo. Tapi entahlah, aku juga tak tahu pasti.

Tidak berapa lama kemudian, Zai-Zai keluar dari kamarnya sambil menghanduki rambut panjangnya yang masih basah. Ia tersenyum begitu melihatku, maka kubalas juga dengan sebuah senyuman. Oh my God, he is very cute! he looks so beautiful with his long hair.

"Just wait me a minute!" kata Zai-Zai seraya masuk ke kamarnya lagi, kamar yang sama dimana John Lung keluar tadi. Aku terpana melihat temanku itu sampai ia tak tampak lagi di balik pintu kamar. Aku baru tersadar dan kaget saat tangan John Lung menepuk pundakku, "Hei, kenapa kau bengong?" tanyanya sambil memandangku dengan tatapan aneh, seoleh-olah hendak menerkamku saja. Mungkin maksudnya hendak bergurau, tapi entahlah, menurut penilaianku John Lung sangat tidak pintar bergurau.

Acara pertama kami siang itu adalah makan siang. Zai-Zai menunjukkan padaku sebuah restoran fast food yang tidak jauh dari apartemannya, sebuah restoran kecil berarsitektur Itali. Kami memilih tempat duduk di pojokan ruangan, bersandar pada tembok, sambil menikmati beef burger, french fries dan segelas pepsi.

Kami juga mengobrol banyak hal sembari makan, masih ada banyak hal yang perlu aku kenali dari sahabat baruku ini, dan mungkin begitu juga sebaliknya yang dirasakan Zai-Zai. Saat aku menanyakan perihal perkenalannya dengan Nicky dan John Lung, Zai-Zai sempat tersenyum sebelum menjawab, "Aku mengenal mereka di dalam pesawat. Sebetulnya aku sudah tahu John Lung jauh sebelum kejadian itu, ia satu kelas denganku. Tapi di kelas, kami tak sempat saling berkenalan. Kau tahu sendiri kan, John Lung itu orangnya agak pendiam dan kurang pintar bergaul."
"Yah, tapi sekarang kalian sudah seperti Kakak beradik saja, bahkan tinggal bersama dalam satu aparteman,"
"Betul, kami bertiga memang kompak dan sangat dekat," sahut Zai-Zai sambil menggigit burgernya.

Aku menyeruput habis pepsi cola-ku, aku sudah selesai makan. Aku tunggu beberapa saat sampai Zai-Zai pun selesai makan. Selama aku menunggu, kuamati muka Zai-Zai yang duduk di sebelahku dengan keasyikannya menyantap burger. Dugaanku selama ini tentang Zai-Zai ternyata salah besar, Zai-Zai sama sekali bukan orang yang patut dibenci, ia seorang teman yang baik, bahkan sangat baik! Aku suka berteman dengannya. Sebetulnya sejak kejadian di taman itu, aku berusaha mengikis kebencianku dan dendam kesumatku padanya.

***

Tiga hari kemudian setelah aku bermain-main ke aparteman Zai-Zai. Jam enam pagi, ada SMS yang masuk ke handphone-ku. Aku membacanya dalam keadaan setengah mengantuk, karena aku biasanya bangun jam 7 pagi. Begitu kuketahui dari Zai-Zai, aku mengumpulkan tenagaku untuk duduk bersandar pada tembok dan menyegarkan mataku kembali, "Zai-Zai mengundangku ke apartemannya nanti malam? untuk apa?" gumamku. Hari ini bukan hari libur, lagi pula aku baru pulang kuliah jam 5 sore. Aku baru saja hendak membalas, ketika SMS yang kedua masuk, masih dari Zai-Zai.

"Jangan sampai tidak pergi. Kau tidak ingin mengecewakan sahabatmu di hari ulang tahunnya yang ke-21 kan? datanglah sebelum jam 7 malam!" kata Zai-Zai lewat SMS keduanya. Aku berpikir beberapa saat, kemudian kuurungkan niatku untuk tidak datang.
"Aku pasti datang, teman! tunggu saja!" kataku dalam hati sambil memainkan-mainkan jari-jemariku di tombol handphone untuk membalas SMS Zai-Zai.

Sesudah itu, aku mencoba tidur lagi, tetapi tidak bisa. Kalau sudah bangun pagi, aku memang tak bisa tidur lagi, menjengkelkan! Inilah salah satu bentuk pengorbananku yang terbesar untuk seorang teman. Mungkin bagi kebanyakan orang, bangun pagi adalah perkara yang mudah, bagaimana mungkin bisa digolongkan ke dalam suatu "pengorbanan"? Bukannya aku mau membela diri, seandainya kau termasuk orang yang punya kebiasaan bangun telat, kau akan tahu sendiri betapa susahnya bangun jam enam pagi.

Satu hal lagi yang harus kulakukan pagi itu adalah menelepon Nina untuk membatalkan kencan kami nanti malam. Berat juga bagiku melakukannya sekali lagi setelah berulang kali aku mencari-cari alasan untuk menghindar darinya. Nina menjadi pacarku sejak tiga bulan yang lalu, ia gadis yang baik, namun entahlah aku sebenarnya tak pernah betul-betul mencintainya. Kami tidak cocok, itu saja alasannya.

Tapi kami sulit untuk memutuskan hubungan ini, karena sejak dahulu aku punya janji pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan pernah memutuskan pacarku, kecuali dia yang minta putus. Dan justru itulah yang kini jadi masalah, karena saking baiknya, Nina selalu memaklumi alasanku tak bisa menemaninya. Selalu! Tak pernah sekalipun aku mendengar ia mengomel atau memakiku. Ya Tuhan, aku merasa makin tidak layak saja hidup di dunia ini, kenapa pria sepertiku ini selalu dipertemukan dengan gadis-gadis yang berhati emas, sehingga kami berdua menjadi ibarat langit dan bumi yang tidak sepadan.

Hari itu pun Nina tak marah sama sekali, katanya, "Okelah, tidak apa-apa. Kebetulan, kemarin sore Tony mengajakku ke pesta temannya malam ini. Boleh kan aku ikut bersamanya? Kalau kau keberatan aku tidak ikut,"

Ku anggukkan kepala sekali, "ok, pergilah! Sekalian aku titip salam untuk Tony, dan CD-nya besok lusa baru bisa kukembalikan!" sahutku kemudian. Untuk merebut Nina, Tony sebenarnya bukan sainganku, jadi aku tak perlu kuatir cowok kelimis itu akan merebut pacarku. Bukannya sombong, tapi Nina sendirilah yang pernah bercerita padaku jauh sebelum kami berpacaran, kalau ia tak suka dengan sifat Tony yang pemarah dan gayanya yang sok kaya.

Jam lima kurang sepuluh, Mr Jansenn sudah mengakhiri jam pelajarannya, ia bahkan sampai meminta maaf lebih dari sepuluh kali untuk itu kepada mahasiswanya. Aku sih enjoy saja, "Kebetulan sekali!" kataku dalam hati. Segera saja kurapikan buku-bukuku dan kumasukkan ke dalam tas, lalu aku berlari menuju parkiran untuk menjemput Jetmatic-ku di sana. Saat itu juga, aku langsung meluncur ke aparteman Zai-Zai dengan jetmatic andalanku.

Saat aku tiba, kurang lebih jam lebih sedikit, acaranya tentu saja belum dimulai. Zai-Zai yang membukakan pintu untukku. Ku pikir malam ini, akan ada pesta, makan-makan, atau semacamnya. Tapi begitu aku melangkahkan kaki memasuki ruangan aparteman Zai-Zai, ternyata keadaannya sama persis dengan yang waktu itu ketika aku bermain kemari, tak ada yang tampak istimewa. Kami berpelukan-tepatnya akulah yang memulainya-aku ucapkan selamat ulang tahun untuk sohibku yang satu itu,"Happy Birthday, Bro!" ucapku sesaat di dalam dekapannya. Meski tak melihat, aku tahu Zai-Zai tersenyum saat itu dan ia pasti bahagia aku datang.

"Thanks! Duduklah, aku akan ambil minum dulu! Kau suka champagne?" tanya Zai-Zai sebelum ia bergegas menuju dapur. Aku rada kaget mendengarnya, "Champagne? You must be kidding, man!" sahutku sambil mencibir.
"Aku serius, kau bisa minum? kita memang akan pesta champagne malam ini. Tapi kalau kau tidak suka, aku carikan yang lain. Air kran juga lumayan!" gurau Zai-Zai sambil ketawa. Jujur, aku belum pernah minum sampai usiaku saat itu, apalagi sampai mabuk di meja bar, tidak pernah sekali pun! Jadi, aku kaget saja ketika Zai-Zai menawariku champagne. Tetapi karena aku tak ingin mengecewakan Zai-Zai, aku pun terpaksa mengikutinya. Pesta champagne? pasti seru juga, pikirku.

Kami berempat duduk melingkar mengelilingi satu-satunya meja yang ada di ruang tamu, di hadapan kami sudah ada lima botol besar champagne dan beberapa gelas di sekelilingnya, itu saja! Tidak ada kue tart dan lilin-lilin. Mulanya, aku mencoba meminum tak sampai seperempat gelas, itu saja sudah membuat kepalaku terasa lebih berat dan jantungku berdebar-debar tak karuan, kandungan alkoholnya pasti sangat tinggi.

Zai-Zai dan Nicky menertawaiku, apalagi ketika mereka melihat mataku sudah basah dan keringat mengucur di sekujur tubuhku. Sungguh kelewatan, di cuaca panas seperti ini malah disuguhi champagne, apa tidak ada pesta yang lebih konyol dari ini?

Nickylah yang terus menyemangatiku, ia berulang kali menuangkan champagne ke dalam gelasku. Berulang kali, sampai aku tak ingat lagi sudah berapa gelas champagne yang kuhabiskan, ketika itu aku sudah tidak sadar alias mabuk. Ketika aku tersadar, hari sudah pagi dan kurasakan mataku silau oleh sinar matahari yang menyelinap masuk melewati sela-sela curtain di jendela aparteman. Aku terbaring di atas sofa. Dan yang membuat aku lebih kaget lagi, pakaianku acak-acakan, yang tersisa di tubuhku hanyalah kaus singlet dan celana dalam. Aku bahkan tak sempat lagi untuk sekedar berpikir tentang siapa yang berani menelanjangiku semalam, kepalaku masih terasa berat.

Aku mencoba untuk memejamkan mata sekali lagi untuk tidur, tapi tak bisa, rasanya mataku masih berkunang-kunang. Tanganku menggapai-gapai, mencoba untuk mencari sesuatu, tapi tak kutemukan. Saat itulah baru kusadari kalau tak ada seorang pun di ruang tamu itu, aku ditinggal sendirian. Tapi kemana mereka? Aku pun mencoba mengerahkan seluruh kekuatan yang masih aku miliki untuk bangkit dan mencari dimana bajingan-bajingan tengik itu yang telah berani berbuat kurang ajar padaku.

Namun, tiba-tiba telingaku sayup-sayup menangkap suara seseorang yang sedang mengerang-erang. Lama kelamaan terdengar makin jelas. Ya ampun, mereka bertiga sedang "bermain" di atas spring bed. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang aku lihat saat itu, mungkin aku masih mabuk. Tetapi tidak, apa yang kulihat saat itu benar-benar nyata. Suara-suara itu makin keras, terdengar bergantian, mulanya Zai-Zai, lalu Nicky, dan kemudian John Lung.

Aku masih terpaku memandangi mereka, aku tersenyum, lumayanlah untuk tontonan gratis. Namun tiba-tiba, tanpa sadar, kurasakan tangan Nicky mencengkeram bahuku. Dengan kerlingan matanya, aku langsung menangkap maksudnya, aku diajaknya bergabung. Singkat cerita, aku pun ikut dalam permainan mereka.

Nicky melumat bibirku lama sekali di atas sofa, sementara itu tangannya bergerak liar menggerayangi seputar dada, perut dan kedua puting susuku di balik singlet yang kupakai. Aku pun tak tinggal diam, karena aku pun bukan amatiran dalam permainan semacam ini. Gaya permainan orang Indonesiaku muncul. Kumain-mainkan lidahku di dalam sela-sela bibir Nicky yang seksi, kuhisap dan kulumat dengan penuh gelora nafsu, sesekali kugigit-gigit kecil belahan bibirnya. Sampai detik itu saja, saat foreplay yang aku lakukan, Nicky sudah menggelinjang-gelinjang dan mengerang, ia melenguh keenakan, "Argh.."

Kini badan kami sudah saling bertindihan, Aku mengambil posisi di atas, karena ini adalah waktuku untuk memegang kendali permainan. Aku terus melumat bibir Nicky yang segar dengan aromanya yang wangi, begitupun sebaliknya. Setelah aku cukup puas dengan bibirnya, ciuman dan jilatan lidahku perlahan turun ke bagian tubuh di bawahnya. Sementara itu, tangan Nicky sibuk bergerilya di dalam CD-ku, ia meremas-remas penisku yang sudah full ereksi kala itu.

Kemudian, ia memelorotkan CD-ku, setelah itu barulah ia memelorotkan CD-nya sendiri. Wow, pahanya sangat putih dan mulus, mungkin tak jauh beda dengan punyaku. Belum lagi aku terpana ketika sesaat kulihat penis Nicky yang masih uncut (tak bersunat), namun tak kalah perkasa dengan penisku saat itu. Aku tersenyum sesaat, air liurku mengalir ketika memandang penis sepanjang 15 cm itu tegak berdiri di depan mataku. Tak perlu menunggu waktu lama, langsung saja kumasukkan penis Nicky itu ke dalam mulutku, aku sedot dan aku hisap kuat-kuat. Kumainkan maju mundur di dalam liang mulutku, sampai air liurku membasahi seluruh penisnya sehingga tampak mengkilat-kilat terkena sinar matahari, "What a fresh penis!" gumamku.

Di tengah-tengah permainan kami, tanpa kusadari, ternyata Zai-Zai dan John Lung sudah berada di dekat kami. John Lung mengelus-elus punggungku dari belakang dan kemudian menjilatinya, sampai ke sela-sela ketiakku, membuatku makin tenggelam dalam dunia kenikmatan ini.

Sementara itu Zai-Zai mendekatkan mukanya ke mukaku, "Sisakan untukku, ok?" bisiknya bergurau. Kemudian tanpa ada komando, aku dan Zai-Zai bercumbu. Wow, aku belum pernah bermain four in one sebelumnya, bagiku ini sungguh pengalaman yang luar biasa dahsyatnya. Aku sampai ketar-ketir dibuatnya. Bagaimana tidak, Zai-Zai mencumbu bibirku, John Lung bermain-main dengan bagian belakangku dan menjilati punggung bahkan sampai ke pantatku, sementara Nicky menghisap penisku di bawah sana. Mereka begitu liar, seperti orang yang kehausan lalu menemukan mata air di tengah padang gurun Sahara.

Mereka bertiga tak bisa dipandang sebelah mata untuk urusan ini, mungkin inilah yang mereka lakukan sehari-hari di dalam kamar aparteman ini. Ah, betapa senangnya!

Kini tiba giliranku bermain dengan Zai-Zai, sementara John Lung dan Nicky mempunyai kesibukan sendiri di atas karpet. Zai-Zai memandangku sambil mencengkeram lenganku, "Tunjukkan kebolehanmu di atas ranjang, sobat!" tantangnya seraya menarikku ke atas ranjang.

Kami melanjutkan permainan ini di sana, di atas kasur spring bed berukuran besar yang lebih empuk daripada di sofa ruang tamu. Hal pertama yang kami lakukan di atas ranjang adalah bermain dalam posisi 69. Ach, tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata perasaan yang aku alami saat itu! Setiap kali aku melakukannya, terasa ada suatu kesan yang baru yang berbeda dari apa yang pernah kulakukan.

Penis Zai-Zai sama menggiurkannya dengan penis Nicky yang sudah kucicipi tadi, putih dan bersih, penis itu kini menjulang dengan keperkasaannya di depan batang hidungku dan terciumlah aroma kelelakian Zai-Zai di sana, membuatku mabuk kepayang saja! Satu yang juga menarik perhatianku dari penis yang kini menjulang di depan mataku yaitu jembut-jembutnya yang sangat sedikit bahkan nyaris plontos, mungkin saja Zai-Zai baru mencukurnya, bagiku itu bukanlah masalah, malahan aku makin horny saja melihatnya.

Kumasukkan pelan-pelan penis berukuran tak kurang dari dua genggaman tangan orang dewasa itu ke dalam mulutku, rasanya kenyal-kenyal dan empuk seperti permen karet. Kugerakkan maju mundur berirama, makin lama makin cepat seiring dengan beat nafsuku yang kian menggelora. Setelah kurasa cukup, aku selingi aksiku dengan kocokan. Tak jauh beda dengan apa yang dilakukan Zai-Zai pada penisku di bawah sana, pokoknya aku merasakan kenikmatan double saat itu.

Sampai sekarang aku rada heran, kenapa banyak orang yang tak suka dengan oral seks, padahal menurutku variasi semacam ini sangat luar biasa. Masalah rasa jijik yang seringkali dijadikan alasan, bagiku "no problem", tetapi tentu saja dengan catatan partnerku harus bersih dan sehat. Untuk Zai-Zai, aku yakin 99% kalau ia sehat alias tak berpenyakit seksual, aku belum ingin mati muda, man! Apalagi mati karena PMS (=Penyakit Menular Seksual), ojo sampai!

"Ouh..!" Zai-Zai menyedot penisku. Gerakan lidahnya makin liar, terkadang ia menyapu selangkanganku, kanan dan kiri secara bergantian. Aku tahu ia tambah horny melihat "burung"-ku bergelantungan di bawah sana dengan keperkasaannya yang cukup membuat orang ketar-ketir ketika melihatnya. Bukannya keGe-eRan, tapi aku bangga dengan rudalku yang paling kusayang dan kurawat dengan baik ini. Tak lama setelah Zai-Zai "menggarap" penisku dengan aksinya yang seganas itu, maka lava putih kental itu pun muncrat dari kantong pertahanannya, membanjiri muka Zai-Zai. Cowok bermata sipit itu tersenyum lebar, kemudian ia melanjutkan lagi pekerjaannya, menggarap penisku untuk yang kedua kalinya.

Sementara itu, aku bertarung mati-matian untuk menaklukkan bisa menaklukkan rudal Zai-Zai. Baru kusadari kalau ternyata Zai-Zai adalah lawan yang sangat tangguh, pertahanannya baru jebol sepuluh menit kemudian. Tepat ketika penisnya hendak kumasukkan ke dalam mulutku, tak ayal semprotannya yang hangat dan kuat membuat wajahku basah kuyup oleh sperma kentalnya.

Tetapi tiba-tiba aku merasa ingin sekali menjilati sperma Zai-Zai yang masih melekat di ujung penisnya dan di bagian wajahku sejauh yang bisa dijangkau oleh lidahku, dan akhirnya kulakukan juga tanpa dikomando. Terus terang, bagiku ini adalah pengalaman pertama minum sperma. Aku tak pernah melakukannya terhadap Denny atau pun Valent sebelumnya.

Ternyata, not bad! Lumayan juga rasanya! Setidaknya lebih nikmat daripada champagne yang semalam aku minum, malahan yang satu ini kandungan alkoholnya jauh lebih berat, mungkin sampai 90% atau lebih, pokoknya bikin kepala langsung snut-snut mabuk kepayang, tapi yang lebih dahsyat lagi efek ketagihannya itu loh, nggak ku-ku! Karena itulah, aku mengulanginya lagi pagi itu, terus dan terus, sampai Zai-Zai betul-betul lemas dan tak sanggup melayaniku lagi. Tentu saja, aku juga perlu istirahat. Malahan aku sebenarnya sudah merasa capek sekali sedari tadi. Kau tahu sendiri kan, Aku kan bukan superman yang bisa bertahan main lebih dari 10 ronde!

Begitu aku terjaga, sudah jam 12 siang. Zai-Zai, Nicky dan John Lung masih tertidur kecapaian. Tentu saja, mereka sudah main sebelum aku bangun tadi pagi. Entahlah, mulai dari jam berapa mereka memulai pesta ini, tapi yang jelas kalau mereka lebih capek dari aku, itu wajar.

Aku tak akan pernah melupakan hari itu sebagai sebagian lembaran sejarah masa laluku, karena aku sadar bahwa masa lalu tak akan pernah bisa diperbaiki atau pun diulangi, segala sesuatunya sudah terjadi dan tidak ada satu pun yang perlu disesali.

*****
E N D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar